Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terang dan Garam

28 November 2020   17:13 Diperbarui: 28 November 2020   17:19 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan hidup mengajariku arti bahagia lebih dari sekedar menikmati apa yang aku miliki.  Tetapi bahagiaku kini ketika bisa membuat orang lain bahagia.   Menjadi terang dan garam, begitu kataku kepada kedua buah hati.

Lihat saja terang yang menerangi gelapnya malam, dan garam yang memberi rasa.  Alangkah indah kalau kehadiran kita bisa seperti itu adanya.  Inilah yang membuatku merubah arti bahagiaku.  Tidak lagi bahagia yang egois milikku sendiri.  Tetapi bahagia jika aku bisa berbagi, memberi dan menyatuni.  Bahkan untuk ini tidak harus materi, tetapi ilmu, dan waktu pun bisa.

Ungkapan terang dan garam pas sekali untuk menggambarkan memberi, berbagi dan menyantuni.  Bahwa keberadaan kita di dunia juga untuk menjadi saluran berkat orang lain.  Membuat orang lain ikut bahagia sebisa dan seikhlas kita, tanpa pamrih apapun.

Namanya Dodo, aku memanggilnya Mas Dodo.  Dia ini tukang sayur langgananku yang setiap pagi selalu datang membawa sayuran segar lengkap.

"Non, kalau nggak salah anaknya sepantaran anakku yah?  Bingung saya PPDB itu opo?  Katanya mesti pakai komputer segala untuk daftar sekolah.  Terus NEMnya juga mesti bagus, kalau tidak yah ketendang.  Yo, wis puyeng aku non," curhat Mas Dodo 2 tahun lalu.

PPDB DKI atau Penerimaan Peserta Didik Baru 2019 adalah kali pertama aku mengenal pendaftaran online.  Kali pertama pula aku mengerti sistem di negeri karena sebelumnya kedua anakku di swasta.  Berbeda dengan PPDB 2020, maka PPDB 2019 masih menggunakan NEM meskipun penerimaanya tetap online.  Sedangkan PPDB 2020 menggunakan umur sebagai syarat penerimaan.  Inilah sekilas mengenai PPDB yang ngejelimet itu.

Ehhmm...jujurnya pemerintah suka aneh-aneh juga sih.  Kebijakan mereka kadang justru jadi kurang bijak karena ada banyak Mas Dodo lain yang pastinya puyeng memikirkan apa sih daftar online dan segala aturannya itu.  Apalagi banyak dari masyarakat kita yang masih serba terbatas.  Terbatas kondisinya, dan terbatas pengetahuannya.

Sekalipun anak sekarang ini melek tekhnologi, tetapi apakah mereka punya laptop yang bisa terus dipelototi memastikan nama anaknya masih aman di sekolah pilihannya?  Lalu kalaupun menggunakan gadget, memangnya tidak pakai kuota?  Inilah persoalannya si Mas Dodo salah satunya.

Akhirnya pengumuman kelulusan tiba, dan langkah berikutnya adalah daftar online lewat website PPDB.  Puji Tuhan, ketika itu putriku NEMnya aman, dan mulus diterima di SMA Negeri favorit lewat jalur zonasi.  Tetapi tidak demikian dengan Mas Dodo rupanya.

"Dubrakk...non.  Aku sudah bilang ke anakku sekolah di kampung dengan mbah aja.  NEM hancur begitu mana bisa diterima.  Memangnya ada orang kaya yang mau menyantuni anakku sekolah?  Ngantri orang nanti!  Ngarep bapaknya masukan ke swasta yo mimpi toh non" katanya pagi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun