Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lebih Baik Ditinggal Waktu, Daripada Ditinggal Selamanya!

25 Juli 2020   02:34 Diperbarui: 25 Juli 2020   02:43 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: detik.com

Teriakan kuota dan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) sebenarnya nyaring di dunia pendidikan.  Meskipun kalah nyaring dengan teriakan dunia bisnis yang semakin redup akibat pandemi Covid.

Bicara redup, juga sebenarnya bukan milik dunia bisnis saja.  Di kalangan pelajar pun kondisi ini makin buruk dan kompleks.

PJJ bukan lagi kabar gembira, karena banyak anak mulai rindu segera kembali bersekolah, ketimbang "libur" panjang setiap hari menatapi gadget atau laptop.  Ini belum termasuk kekesalan mereka karena tugas sekolah ada juga yang ngelantur tanpa interaksi guru.  Ditambah "nyanyian" emak yang kesal karena mendadak jadi guru.

Mencari siapa yang salah, jelas bukan anak ataupun guru.  Tetapi kondisilah yang memaksa semua ini terjadi.  Termasuk orang tua yang dituntut ekstra sabar karena harus menggambil peran sebagai pendidik menggantikan guru yang mengajar.  Di saat bersamaan bekerja demi membayar kuota dan lonjakan listrik yang ikutan naik akibat PJJ.

Istilahnya semua jadi berjumpalitan tidak jelas.  Sedangkan menyalahkan pemerintah juga tidak tepat, karena siapa yang menghendaki kondisi seperti ini.  Jangankan Indonesia, faktanya dunia pun perang terhadap Covid.

Berlama-lama fokus hanya kepada Covid dari sudut kesehatan saja juga tidak bisa dibenarkan, karena ada faktor sosial, ekonomi dan bahkan pendidikan yang saling berkaitan di dalamnya.  Inilah yang juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk berlahan mulai membuka mall dan beberapa sektor ekonomi.  Tujuannya agar roda ekonomi berputar, dan negeri ini tidak terpuruk seperti yang terjadi pada Singapura dan India.

Tetapi jelas pendidikan tidak bisa disamakan dengan dunia bisinis, karena disini pertaruhannya adalah nyawa peserta didik dan juga tenaga pengajar.

Tentunya tidak bisa dihindari ada orang tua yang putus asa karena ketidakmampuannya menggantikan peran guru di masa PJJ ini.  Merasa tidak adil, karena terkhusus sekolah swasta misalnya uang sekolah tetap berjalan sementara proses belajar dilakukan daring.  Jeritan merasa terbeban karena bayar double, uang sekolah dan lonjakan listrik di rumah akibat PJJ.

Cerita seperti ini juga terjadi di sekolah negeri yang bebas uang sekolah.  Tetapi tetap saja faktanya tidak bisa menghindar dari kuota misalnya untuk beberapa anak yang tidak memiliki fasilitas internet di rumah.

Apapun itu, menurut penulis sih kebangetan saja, kalau karena kondisi-kondisi ini lalu kita ramai-ramai berteriak ingin sekolah segera dibuka.

Sekolah tidak bisa disamakan dengan dunia bisnis, dan sekalipun disana ada guru yang terlibat mengajar dan (maaf) menerima gaji, tetap tidak bisa disalahkan dalam kondisi ini.  Jangan lupa guru juga manusia biasa seperti orang tua murid yang memiliki tanggungjawab terhadap keluarganya, dan kondisi seperti ini bukanlah menyenangkan bagi mereka.  Apalagi ditengah keterbatasan mereka mengajar sekarang melibatkan teknologi.

Harus diingat bahwa Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat data kematian anak akibat Covid-19 di tanah air cukup mengerikan.  Hingga saat ini terdapat 70 persen dari kasus anak meninggal karena infeksi virus Covid adalah berusia di bawah usia enam tahun.  Tunggu, jangan konyol dengan berimprovisasi, "Kalau begitu yang dibuka usia SMA saja dahulu, bagaimana?  Mereka khan sudah besar, dan bisa menjaga diri"

Jujur jika teriakan ini dikarenakan tidak sanggup melihat anak sendiri di rumah selama PJJ, tidak sanggup menjadi pendidik sementara, atau bahkan berteriak karena merasa tidak adil telah membayar uang sekolah dan kuota, maka ini teriakan menyedihkan!

Sangat tidak bisa dimengerti, bagaimana mungkin ada orang tua membandingkan dibukanya mall dan pertokoan dengan dibukanya sekolah, karena merasa guru menerima gaji?  Ini ironis, mengukur nyawa anak sendiri dengan rupiah?

Tidak ada satupun yang suka, senang atau menikmati pandemi ini.  Semua tanpa terkecuali ingin sesegeranya kondisi ini berlalu.  Termasuk juga guru sebagai tenaga pengajar, dan bahkan tukang jajanan yang biasa mangkal di depan sekolah anak-anak!

Jadi, jangan karena Covid, kita pun ikutan kehilangan akal sehat mengirim anak ke sekolah.  Sementara orang tuanya berada di rumah?  Sungguh mengerikan dan menyedihkan!

Bersabarlah!  Lebih baik ditinggal waktu, daripada ditinggal selamanya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun