Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Pancasila Bukan Agama

9 Juli 2020   02:35 Diperbarui: 9 Juli 2020   02:28 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: berdikarionline.com

Mengerikan negeri ini sudah merdeka 75 tahun.  Kalau diumpamakan manusia, artinya sudah lebih dari cukup makan asam garam kehidupan.  Tetapi, ternyata tidak untuk Indonesia yang kita cintai ini.  Hingga kini pun masih terus berkutat di urusan Pancasila, yang tambah ngelanturnya lagi dibumbui agama.  Inilah plesetan paling cihui yang laris manis di negeri ini.  Apalagi kalau diberikan bumbu komunis, dan PKI.  Wuih...makin sedap aroma pedasnya menusuk hidung.

Kontroversi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) mendadak membuat banyak orang peduli Pancasila, dan mendadak pula menjadi Pancasilais.  Hahah...ini lucu karena kemana saja mereka selama ini?

Bagi Indonesia, Pancasila jelas sudah harga mati yang menjadi ideologi negeri ini.  Jadi, nggak ada lagi pertanyaan ini dan itu, apalagi jika disisipi cerita horor skenario PKI atau komunis.  Itu jelas ngawur dan halu sekali.

Lahirnya Pancasila adalah karena para pendiri bangsa ini sepakat harus ada dasar negara yang menjadi haluan bangsa, dan sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia yang diambil dari kepribadian bangsa.  Alasan sangat mendasar karena menyadari Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam segalanya, baik bahasa, budaya dan agama.

Maka pada tanggal tanggal 22 Juni 1945, lahirlah kesepakatan bahwa negara yang akan dibentuk berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Inilah yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, atau Jakarta Charter.

Tetapi kemudian terjadi perubahan pada asas Ketuhanan, yang diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.  Ini sejalan dengan kenyataan negeri ini juga terdiri dari kemajemukan beragama, mengacu pada saudara-saudara kita di Indonesia Timur.

Tetapi seiring perjalanan waktu, justru azas Ketuhanan ini terus menjadi bulan-bulanan.  Miris memang, karena gara-gara satu azas maka keempat azas lainnya menjadi hancur tidak karuan.  Padahal jelas Indonesia bukan milik satu kelompok agama saja, demikian juga yang memperjuangkan negeri ini bukan milik kelompok tertentu.

Ironisnya lagi, pembelaan membabi-buta terhadap kepentingan agama yang menumpang di Pancasila, justru "membunuh" Pancasila itu sendiri, termasuk juga mencoreng kesakralan agama yang seharusnya membuat siapa pun pemeluknya lebih menempatkan Tuhan sebagai yang maha tinggi, ketimbang agama yang dianut.  Alasannya sederhana, karena tidak ada agama yang mengajarkan perpecahan, apalagi kebencian.

Agama, selain mengatur hubungan horizontal antara sesama, pastinya dan utamanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan pemilik isi bumi ini.  Maka Tuhan akan selalu menjadi Tuhan yang Esa untuk siapapun pemeluknya.  Jadi dimana hubungannya agama mengatur bernegara?

Lain halnya dengan Pancasila yang menjadi dasar negara, atau pedoman bangsa ini melangkah.  Kita sebut saja sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab, karena sebagai orang Indonesia kita sudah dikenalkan kepada sisi kemanusiaan, dan kepekaan terhadap sesama yang berkeadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun