Mohon tunggu...
Desty Dwi
Desty Dwi Mohon Tunggu... Pramugari - A Mother, Flight Attendant n Communication Student

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Menjadi Biasa Saja, Kenapa Tidak?

1 Maret 2021   14:35 Diperbarui: 2 Maret 2021   00:32 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Sebagian dari kalian ketika masih kecil pasti pernah ‘didoktrin’ untuk menjadi sesuatu yang luar biasa dari orang tua. Misalkan, menjadi artis, penyanyi terkenal, presiden, bahkan dituntut untuk mengubah dunia ini. Bahkan, menjelang remaja dan dewasa doktrinasi ini masih terus berlanjut. Lingkungan pertemanan, sekolah, dan kampus tidak luput dari pengaruh ini. Kita mengambil contoh kecil, waktu masih duduk di sekolah setiap guru sering menanyakan kepada murid-muridnya apabila besar nanti ingin menjadi seperti apa dan siapa. Ada yang mengatakan ingin menjadi presiden, pilot, youtuber, selebgram, dan cita-cita tinggi lainnya. Tidak jarang dari mereka menyebutkan nama-nama orang terkenal, seperti ingin menjadi Mark Zuckerberg, Bill Gates, Elon Musk, Nadim Makarim, Jack Ma dan masih banyak lainnya. 

Sebenarnya apapun keinginan kita dan ingin menjadi sesuatu bukanlah masalah. Akan tetapi, menjadi masalah yang merepotkan di saat kita memutuskan ingin menjadi ‘biasa saja’. Konsekuensinya adalah menjadi bahan hinaan, pandangan underestimated, dan cemoohan. Tidak jarang orang memberikan motivasi untuk menjadi orang hebat, kaya, dan pintar. Belum lagi, direndahkan akan mimpi kita yang dipandang biasa saja oleh orang lain. Seolah-olah mereka adalah pihak paling benar dan mulia untuk mengarahkan mimpi seseorang. Belum tentu seseorang yang diberikan motivasi merasa senang atau bahkan merasa keberatan dan terganggu dari paksaan tersebut. 

Menurut saya, bukankah dunia ini memang sudah dibagi menjadi orang luar biasa dan biasa saja. Sulit untuk menjadikan seluruh orang menjadi kaya atau terkenal. Ada orang yang ingin menjadi besar akan kekuasaan, ketenaran, dan publik figur bukanlah suatu masalah. Silakan saja dan lanjutkan. Begitupun, orang yang memutuskan ingin hidup sederhana, tanpa jabatan, dan tidak perlu menjadi terkenal bukanlah suatu masalah juga. 

Bayangkan apa jadinya semua orang di dunia menjadi Elon Musk, pendiri mobil Tesla, lantas siapa yang akan menjadi konsumen ketika semua penduduk menjual mobil. Atau semua orang bermimpi ingin menjadi presiden, kemudian siapa yang akan menjadi rakyat biasa atau orang yang dipimpin. Bagaimana dengan posisi orang yang hanya bersyukur ingin menjadi pemadam kebakaran, kuli bangunan, tukang ojek, pedagang, dan lainnya. Bukankah dalam kehidupan kita memerlukan keahlian mereka. Jangan salah, ada pemberitaan di media nasional bahwa mimpi seorang hanya ingin bertani, pergi ke pelosok daerah untuk mengajar, atau merawat lingkungan. Bukankah itu tindakan mulia juga. 

Tidak salah untuk bermimpi ingin menjadi karyawan kantoran, pegawai di pemerintahan, atau teller di bank. Bukan suatu keniscayaan untuk seluruh orang menjadi pengusaha, pemimpin negara, atau menjadi publik figur. Sederahananya, untuk mengurus keuangan kita membutuhkan teller bank, membuat KTP atau berkas kenegaraan lainnya butuh pegawai pemerintahan, dan masih banyak penggambaran lainnya.

Apa yang bisa diajarkan dari realitas ini bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang tidak berguna. Mereka memiliki porsi manfaat masing-masing sesuai dengan kemampuan, dimana secara tidak langsung menggerakkan roda kehidupan yang masih berjalan hingga sekarang. Saya miris ketika menemukan orang yang ingin menjadi guru, karyawan kantoran, atau petani justru direndahkan dan dipandang tidak prospektif. Sudut pandang mereka selalu menerapkan standar keuangan untuk sejahtera, namun banyak di luar sana yang memperoleh kesenangan apabila pekerjaanya membantu orang lain. 

Saya sedikit kontra dengan ‘konstruk’ di masyarakat bahwa menjadi youtuber, selebgram, atau apapun dipandang prestise. Stigma terbangun hanya karena segelintir profesi tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Poinnya adalah kita tidak bisa menjadi apa yang diinginkan oleh banyak orang. Kita tidak bisa selalu menjadi menonjol dan manfaat di depan orang banyak. Hal yang harus diprioritaskan adalah kita tidak perlu menjadi kendali bagi dunia ini, tidak perlu dikenal banyak orang, dan tidak perlu menjadi orang yang dikagumi. Memberikan manfaat pada keluarga sendiri dan berprofesi apa yang diinginkan bukanlah masalah untuk menjadi orang biasa-biasa saja. 

Banyak kok mereka-mereka yang menjadi biasa saja dan sederhana mampu menemukan ketentraman serta kesenangan batin. Setiap orang bisa mendapatkan pencapain masing-masing dengan kapasitas meskipun masih banyak orang melakukan judge kalau kita dipandang belum memberikan apapun atau harus menjadi sesuatu yang besar dan menarik perhatian. Kemudian, mental judging dan memandang suatu mimpi sebagai barometer kesuksesan bukanlah tindakan baik melainkan sudut pandang sempit. Setiap orang memiliki dunia dan ukuran kesuksesan tanpa membandingkan dengan orang lain. Bisa jadi apa yang kita impikan adalah hal yang biasa saja dalam perspektif orang lain, begitupun berlaku untuk sebaliknya.

Maka, menjadi biasa saja bukanlah kesalahan besar atau tindakan berdosa. Manusia memiliki path-nya masing-masing. Menjadi biasa saja adalah pilihan, tidak perlu terkenal, tidak menjadi kaya, menjalani hidup tanpa tekanan. Tidak selamanya uang dijadikan tolak ukur untuk kesenangan dan kebahagiaan. Banyak orang kaya atau orang luar biasa mendapatkan penderitaan. Pandangan ini tidak bermaksud untuk bertindak pesimis melainkan pilihan atau passion setiap orang berbeda di dunia. Tidak bertujuan menjatuhkan mental atau berpasrah kepada keadaan. Akan tetapi, mengubah perspektif orang-orang yang tidak lelah mengkerdilkan impian orang lain. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun