Mohon tunggu...
Desti Noer Ambarwati
Desti Noer Ambarwati Mohon Tunggu... Guru - Pelajar

Jangan lupa bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Maafkan Aku, Bu

13 Januari 2020   19:31 Diperbarui: 31 Januari 2020   16:59 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku Nadia, terlahir dari keluarga yang entah kemana ibunya. Ayah bilang, ibu pergi karena ia lebih memilih laki-laki lain dibandingkan dengan ayahku. Aku sedih. Aku tidak bisa melihat wajah ayah lagi. Ayah telah meninggal dunia karena kecelakaan. Kini aku tinggal bersama adikku, Naura.


Kota yang sunyi, malam telah menelan semua isi keramaian ini. Suara burung mencekam menusuk bintang di langit malam. Hujan deras mengguyur atap rumahku, sudah reda namun rintiknya masih terasa. Jarum jam yang berputar tak terhenti bagaikan komedi putar di malam hari. Perlahan mataku membuka, melihat dunia yang tiada arti. Hingga saat ini, aku masih membenci ibuku sendiri.


Entahlah, kehidupan ini memang di atur oleh Maha Kuasa. Aku hanya bisa menerima garis takdir. Takdir tak selalu sama dengan apa yang aku impikan. Terkadang jauh dari harapan, membuat tak bertahan dan masuk ke lubang penderitaan. Dan aku, mengalami nya. Banyak hal yang membuat air mataku mengalir. Itulah alasan kenapa aku benci pada ibuku, dia tak pernah memberitahu dimana dia berada ketika aku sangat membutuhkan nya. Hingga saat ini aku tak tahu siapa dan seperti apa wajah ibuku.


"Assalamu'alaikum."
"Siapa sih malam-malam gini, kak?" dengan rasa penasaran.
"Gatau ra," aku pun menggelengkan kepala.

"Yaudah biar aku aja yang buka" untuk membayar rasa penasaran ku, akupun pergi membuka pintu.

"Wa'alaikumsalam, siapa ya?" aku heran, karena aku tidak mengenalnya.
"Ini Nadia? Kamu cantik sekali, nak. Anak ibu sudah besar rupanya." Sambil memeluk ku yang sedang bingung siapa dia sebenarnya.
"Siapa kamu? Apa maksudnya dengan menyebutkan bahwa kamu ini ibu?" aku pun dengan segera melepaskan pelukan wanita itu.
"Ini ibumu, nak. Maafkan ibu..."
"Tunggu-tunggu, jadi ini ..? Ngga! Pergi!, pergi kamu dari sini!!!"
"Tunggu nak, ibu akan jelas---"
"Ga perlu jelasin apa-apa,bu. Aku benci sama ibu, ibu datang setelah ayah meninggal. Ibu kemana ketika aku membutuhkan asi ibu hah? Ibu kemana ketika aku mulai belajar bicara? Ibu kemana ketika aku ingin dibuatkan kue seperti anak yang lain bu? Kemana bu? Kemana?!! Dan sekarang, ibu tiba-tiba datang ketika ayah sudah meninggal. Sadar ga bu, aku ini perempuan sama seperti ibu... Hmm memang benar kata ayah, ibu telah mengkhianati ayah." aku sangat marah pada wanita itu, aku sangat benci padanya.
"Nadia, dengarkan penjelasan ibu dulu nak. Kamu salah paham. Kamu tidak tahu yang sebenarnya seperti apa, sayang." sang ibu menangis.
"Ibu gausah panggil aku sayang. Karena sampai kapan pun aku tetap benci sama ibu!!!"
"Di luar siapa sih, kok malah ribut." kata Naura yang merasa heran, "Aku kesana aja kali ya." ujar Naura yang merasa bising  mendengar keadaan diluar rumah.

"Kaka!!!" Naura menahan Nadia yang akan menampar wanita paruh baya itu.
"Apa-apaan sih kamu!" aku kesal karena Naura menghalangi ku.
"Naura sayang ..." memeluk Naura.

"Bentar, ini siapa?, Ini ibu?" dengan rasa penasaran sekaligus terharu.
"Iya, nak." sang ibu menunduk, takut Naura pun membenci dirinya.

"Ibuu..." sambil memeluknya, "Aku kangen ibu, aku mohon jangan tinggalkan kami lagi, bu." dengan polosnya ternyata Naura malah senang ketika sang ibu datang.
"Kak, ini ibu kita ... Bukannya kaka ingin bertemu dengan ibu?" Naura menegaskan padaku.
"Diam kamu!!!" Akupun masuk ke dalam rumah.

"Kok kaka gitu sih." Naura sedih melihat kakanya sendiri yang kasar pada sang ibu.
"Naura, Ibu akan tinggal bersama kalian, ibu akan berusaha menembus semua kesalahan ibu. Tapi asal Naura tau, ibu tidak bersalah sayang." sambil menatap matanya.
"Aku yakin ibu tidak pernah berniat untuk meninggalkan kami saat kami masih kecil, bu. Aku sayang ibu." Memeluk kembali ibunya.


Wanita paruh baya itupun yang tidak lain adalah ibunya sendiri, tinggal bersama Nadia dan Naura di rumah almarhumah ayahnya.

***

Bulan pergi meninggalkan gelap, matahari menyiratkan keemasannya di ufuk timur. Ketika cahaya bersinar, menembus celah-celah kecil jendela. Udara sejuk menyentuh hingga ke raga. Hembusan angin terdengar mendesah berirama. Bunga pagi serentak merekah merona. Ketika bunga tidur terbuyarkan oleh mata. Mata yang awalnya terpejam, kini terbuka nyata. Tandanya aku harus siap-siap pergi ke sekolah.


"Nadia, kemari nak .. Ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu." Kata ibuku.
"Males" dengan singkat dan langsung pergi tanpa pamit.
"Tapi kak.." kata sang adik, Naura.
"Brukkk.." aku pun langsung pergi dengan membanting pintu rumah.
"Bu, kenapa ya kak Nadia selalu saja marah pada ibu?" dengan rasa penasaran.
"Mungkin kak Nadia sedang buru-buru de.. Sudahlah cepat habiskan sarapanmu!"
"Baik, bu."dengan makanan yang masih penuh di mulutnya.


Akupun pergi ke sekolah. Sekolah ku di SMA Negeri 1 Jakarta. Hari pertama sekolah duduk di bangku kelas 10 SMA. Adikku Naura masih SMP, dia sekolah di SMP Negeri 4 Jakarta. Kami berdua dimasukkan oleh ayah di sekolah terfavorit di Jakarta. Itulah alasannya kenapa aku sangat menyayangi ayahku. Dia adalah orang yang bisa membahagiakan kedua putrinya.


"Hai, namaku Nadia... duduk denganku yuk" dengan suara riangnya.
"Syila, aja" sembari melontarkan senyum manisnya.
Hari itu, aku punya teman baru, namanya Syila. Dia baik dan pintar. Setelah pulang, aku di ajak main kerumahnya.
"Nad, mampir dulu ke rumah yuk"
"Ayo.." dengan sigap aku langsung menjawabnya.
Sampailah dirumahnya. Ketika masuk ...
"Waw rumahmu besar sekali, Syil ..."
"Ah tidak, ini rumah kedua orangtua ku."
"Seandainya ayah ada di sini bersamaku, mungkin aku akan hidup semewah ini, ga kaya sama ibu yang serba berkecukupan." gumam hatiku.
"Silahkan duduk, Nad. Aku ambilkan kamu minum ya."


Setelah seharian penuh dirumah Syila, akupun pulang. Aku memang benci ibuku, tapi aku tahu, aku harus segera pulang.


"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, kemana aja sayang?"
"Ibu gausah so peduli" dengan wajah datarnya.
"Ibu sudah masakan untukmu, nak."
"Aku sudah makan." berjalan ke arah kamar dan tidak sama sekali melihat ibuku.

***

Seminggu ini, aku telah kehilangan ayahku, untuk selamanya. Aku kehilangan banyak waktu untuk bersenang-senang bersamanya. Mungkin sekarang keadaannya sudah berbeda, tapi mungkin juga belum. Selama aku belum tahu yang sebenarnya, aku akan tetap menganggapnya seperti itu.


Kring ... Kring ...
"Pagi anak-anak." ucap guruku di pagi hari.
"Pagi, bu." dengan serentak.
"Ibu akan menyampaikan beberapa pengumuman, karena besok bertepatan dengan hari ibu, besok kalian datang bersama ibu kalian memakai baju tradisional."
"Yeeee... Baik, bu." serentak, kecuali aku.
"Aku ga mungkin bawa ibu ke sekolah." gumam hatiku
"Bu, kalau---kalau ibuku sudah---" dengan nada terbata-bata
"Sudah apa Nadia?" dengan rasa penasaran
"Su---sudah meninggal, bu? tangannya bergetar, ia sadar bahwa dirinya telah membohongi semua orang bahkan dirinya sendiri.
"Oh ya sudah tidak apa-apa, Nad. Besok kamu datang saja seperti biasa tetapi tetap memakai baju tradisional."
"Baik, bu"
"Nad, makan diluar yuk?"
"Hmm .., aku ga bawa uang banyak, Syil."
"Gapapa pake uang ku aja, yuk "
"Hmm .., ayo deh "


Mereka pun akhirnya memutuskan untuk makan di sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahnya.

***

Kertas putih di balut pena hitam, berisi tulisan gadis manis yang suram. Inilah kebiasaan ku. Menuliskan keluhan di buku catatan harian ku.


Hari ibu. Bagiku tidak akan pernah ada hari itu. Entah kenapa aku masih belum bisa memaafkannya. Aku begitu kecewa ketika dia hilang dan sekarang muncul begitu saja. Aku sadar, surga itu katanya berada dibawah telapak kaki ibu. Entahlah ini begitu sulit bagiku. Aku belum terbiasa hidup dengannya. Walaupun aku mulai menyadari, bahwa ia memiliki hati yang begitu tulus.

Jakarta, 8 Januari 2020

"Kak Nadiaaaaa?"
"Apa, Ra?" aku merasa terganggu.
"Di panggil ibu tuh."
"Ngapain sih orangtua itu manggil-manggil aku segala." dengan ketus aku menjawab.
Nadia pun pergi menghampiri wanita paruh baya itu.
"Ngapain sih manggil aku?"
"Duduk dulu, nak." sambil menarik tangan Nadia.
"Ayo kak sini ..."
" Ibu mau bilang bahwa rumah ini akan disita oleh pihak perusahaan karena dulu ayah telah menggadaikan sertifikat rumah ini untuk membayar utang-utangnya."
"Apa? Jadi, kita gakan tinggal di rumah mewah ini lagi?" dengan kagetnya. "Ini semua gara-gara ibu!!!" Aku pun pergi ke arah kamarku.

***

Hari baru dengan rumah yang baru. Kini aku tinggal dirumah sederhana, sangat-sangat sederhana. Pagi ini, aku bangun dengan malas. Sepertinya sisa-sisa kegelisahan ku tadi malam tentang hari ibu terbawa hingga saat ini. Aku tahu hal itu akan membuat kerutan di wajah ku bertambah, tapi mau bagaimana lagi?! Aku sudah berusaha melupakannya tapi gagal. Hari ini di mana teman-temanku berbahagia merayakan bersama ibunya di sekolah sedangkan aku? TIDAK. Iya, tidak akan pernah membawanya, dan tidak akan pernah memaafkannya. Aku tidak seperti Naura adikku. Yang baru tujuh hari di tinggal ayah tapi ia bisa canda gurau dengan ibuku.


Aku juga tetap sekolah di sekolah favorit itu, sempat ibuku bilang bahwa aku harus pindah ke sekolah yang lebih murah, tapi aku menolak. Aku memang egois, tapi aku tidak peduli itu. Kini, ibuku bekerja dengan jualan gorengan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi aku tidak pernah menghargai usaha ibuku sendiri.


"Bu, aku minta uang dong."
"Buat apa, nak?"
"Ya buat beli HP baru lah ..." dengan nada sombongnya.
"Ibu belum punya uang, ibu baru saja membelikannya untuk keperluan dagang besok."
"Alah bohong!!!" akupun mengambil dompet sang ibu, "Aku ambil semua ya, bu." sambil membawa ratusan uang di tangannya.
"Tapi nak, nanti kita mau makan apa?"
"Itu bukan urusan akuuu!!!" meninggalkan ibunya.
Naura yang baru saja pulang sekolah, menghampiri sang ibu yang sedang menangis.
"Ibu kenapa?" dengan cemas.
"Tidak apa-apa, nak." mengusap air matanya.
"Kak Nadia lagi ya, bu? Maafkan dia ya bu ..."
"Udah, cepat kamu makan."
"Baik, bu."


***

Akupun pergi ke sekolah dengan membawa uang banyak. Aku malu dengan teman-temanku karena aku ga punya handphone secanggih mereka. Aku akan belikan uang ini selepas pulang sekolah.
Namun ketika aku sampai di sekolah, aku iri melihat teman-temanku yang datang bersama ibunya sembari menggandeng tangannya. Aku sempat berfikir, kapan aku bisa seperti mereka. Ah berkhayal terus, Nad.


"Baik anak-anak hari ini adalah Hari Ibu, kalian senantiasa harus selalu patuh kepada ibu kalian. Mengapa? Karena ibulah yang telah memperjuangkan kalian untuk berada di dunia ini." kata guruku, "Sekarang kalian bisa menempatkan ke tempat yang telah disediakan karena kita akan melaksanakan perlombaan 'Masak bersama sang Ibu'."
"Hmm keadaan ramai sekali, sedangkan aku harus berdiam diri sendiri. Apa aku salah telah berbohong? Apa aku juga salah tidak membawanya kesini?" merasa bersalah.


Hari ini pun cepat berlalu. Aku senang karena aku tidak perlu berlama-lama melihat mereka yang berbahagia, sedangkan aku hanya menonton kebahagiaan itu tanpa perlu mencicipi bahkan menikmati.


"Kaka, beli HP baru? Uang darimana?"
"Ya dari ibulah." ujarku.
"Oh jadi gara-gara Kaka tadi ibu nangis?"
"Apaan sih kamu, kok sekarang malah jadi bela ibu sih daripada aku?"
"Kak, ibu itu ga pernah salah ..." ngotot.
"Kamu bisa liat ga sih? Ibu dulu udah ninggalin kita sewaktu kita masih kecil, Ra! Ibu ninggalin kita karena selingkuhan nya. Sekarang dia?"
"Stop Kak, bagi aku, ibu ga seburuk yang kaka pikirkan. Aku sayang sama ibu!"
"TERSERAH!" sembari menutup pintu kamar.

Semenjak ada ibu, aku jadi sering beradu mulut dengan Naura. Padahal dulu kami tak pernah marah apalagi sampai bertengkar. Kenapa sih semuanya berubah ketika ibu datang? Aku ingin ayah ada disini.., lagi.

***

Kriiiiingg!!!
Bunyi alarm terdengar di gendang telinga ku. Rumah sepi, tandanya ibuku pergi berdagang keliling kampung. But I don't care. Aku harus cepat ke sekolah.


"Ra, kok ga sekolah?" berjalan ke arah nya.
"Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah." dengan lantangnya.
"Loh kok?" heran.
"Ibu ga punya uang kak, buat bayar sekolah Kaka aja udah susah apalagi di tambah sekolah aku."
"Tapikan itu urusan dia, Ra" bersikukuh menyalahkan ibunya.
"Aku bukan Kaka yang ga punya hati" sindirnya.
"Jadi maksud kamu, semua ini gara-gara kaka?"
"Aku cape Kak debat terus tentang hal ini. Aku sibuk mau bantuin ibu jualan."


Selepas bel pulang sekolah, aku tiba-tiba di panggil oleh wali kelas ku. Katanya ada yang ingin di bicarakan.


"Assalamu'alaikum, Bu"
"Wa'alaikumsalam, duduk sini Nad."
"Ada apa ya Bu aku di panggil kesini?" bingung.
"Ibu mau bertanya, 2 hari yang lalu kamu pernah bilang bahwa ibumu sudah meninggal. Oleh karena itu, kamu datang kesini sendirian. Tapi tadi ibu bertemu dengannya, ia sedang jualan, dia bilang itu ibumu. Apa benar Nadia?"
"Aduh mampus" gumam hatinya, "A---anu Bu, i---itu bukan ibuku." dengan nada terbata-bata.
"Kamu berbohong ya?"
"Hufttt..." menghela nafas, "Maaafkan aku, Bu. Aku memang bohong. Aku benci pada ibuku sendiri. Dia telah meninggalkan aku dan adikku ketika kami masih kecil. Dia juga telah mengkhianati ayah, bu.
"Nadia, kamu tidak boleh benci pada ibumu walaupun dia salah. Kasih sayang ibu tak pernah tergantikan, Nadia. Kamu akan merasakannya ketika kamu kelak menjadi ibu." perlahan sambil melihat mata Nadia yang sebenarnya ia pun menyayangi ibunya.
"Ibu tidak akan pernah merasakan bagaimana rasa sakit hati ini selalu menghantuiku, Bu."
"Tapi ibu juga merasakan bagaimana rasa sakit hati seorang ibu, jika anak yang di cintai nya malah membenci ibunya."
"Maaf ya Bu, Nadia buru-buru. Nadia pamit Bu."


Aku heran. Kenapa semua orang tidak ada yang menyalahkan ibuku, termasuk Naura adikku sendiri. Aku juga heran. Kenapa aku begitu benci pada ibuku...
Terkadang semesta ini tidak adil. Ketika aku ingin ibuku kembali, berada di samping ku, tapi kini aku malah menginginkannya  pergi.

Jakarta, 11 Januari 2020

"Nadia sudah tidur ya" membelai rambutnya, "Ibu sayang sama Nadia" mencium keningnya.

***

Setitik sinar menuju kesadaranku. Semakin lama titik sinar itu semakin besar dan memaksaku untuk membuka mata. Hal yang pertama kulihat adalah jendela yang dibasahi embun pagi dan guguran daun-daun di musim gugur yang tersingkat di sisi jendela.


Perlahan aku bangun dari tempat tidur ku. Membuka gorden jendela dan menatap keluar. Aku ingat, semalam aku bermimpi keningku di cium oleh ibu, rambutku di belai oleh nya. Terlihat seperti nyata. Anehnya itu hanya sebuah bunga tidur di musim gugur.


"Nadia, ini bekel makanan untuk mu." dengan sigap sang ibu tidak pernah bosan bertegur sapa dengan ku.
"Simpan di tas ku." kataku.
Lambat laun aku baru ingat, bahwa aku tidak menolaknya ataupun marah-marah padanya. Aku merasa, apakah ini saat nya untuk berdamai dengan diriku sendiri? Entahlah.
"Aku berangkat..."
"Hati-hati, nak." kata ibuku.


Sambil berjalan, aku masih saja memikirkan mimpi tadi malam. Apa itu pertanda bahwa aku harus memaafkan ibu? Tadi pagi saja aku mulai baik pada ibu.


"Cepat yo cepat." kata pa satpam sambil menutup gerbang sekolah.
"Eh bentar dong, pak." Aku pun berlari sebelum gerbang itu di tutup.
Kring ... Kring ...
"Selamat pagi anak penuh kebohongan." kata Anisa and geng.
"Apaan sih kalian." dengan kesalnya.
"Kamu bohong kan kalau ibumu sudah meninggal? Padahal ibumu tukang gorengan keliling! Ahahahah." dengan puasnya menertawakan Nadia.
"Kalian ga boleh gitu sama Nadia." kata Syila yang membela Nadia.
"Ngapain kamu belain anak miskin itu, Syil!" kata Mila temannya Anisa.
Aku pun pergi dari kelas itu, aku menangis tak karuan. Aku tahu, mereka adalah orang yang suka menghujat kalangan bawah, iya kini aku ada di dalamnya. Itulah sebabnya aku mengambil paksa uang ibuku. Aku tak ingin di bully oleh mereka.
Syila menghampiriku yang tengah duduk di taman.
"Nad, kamu gapapa kan?" nada suara yang sengaja dibuat ramah agar aku tidak marah padanya.
"Kamu ngapain sih ikutin aku. Aku ini orang miskin! Anak dari ibu penjual gorengan!!" kata Nadia.
"Ibumu benar belum meninggal, Nad?"
"Iya. Aku berbohong karena aku benci pada ibuku. Dulu, ibuku meninggalkan aku dan adikku ketika kami masih sangat kecil. Ia pergi dengan selingkuhannya. Ketika ayah meninggal, ia tiba-tiba datang begitu saja. Aku benci dia, Syil. Tapi anehnya ibuku bersikukuh bahwa yang sebenarnya terjadi bukan seperti itu, tapi jelas-jelas seperti itu."
"Kalau aku jadi kamu, aku akan cari tau kebenaramnya dulu, Nad. Jadi menurut aku, kamu ga boleh benci sama ibumu karena hal itu apalagi kalau sebenarnya ibumu tidak bersalah. Percayalah semua akan indah bila kamu mulai membuka hati untuk ibumu, maafkanlah jika dia salah Nadia.."
"Kamu sama aja kaya yang lainnya, Syil. Kenapa semua orang selalu membela ibu yang jelas-jelas dia itu bersalah?!" aku merasa ini tidak adil.
"Tapi, Nad."
"Aku benci semua orang yang tidak mengerti keadaanku!!!"


Akupun pergi meninggalkan Syila di taman dekat kelas ku. Aku memutuskan untuk bolos sekolah.

***

Ketika aku sampai dirumah, aku memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Aku akan tinggal sendirian tanpa mereka  Aku rasa ini yang terbaik. Walaupun aku melihat Naura dengan semangat menghampiri ku, seperti membawa sebuah kabar bahagia. Tapi aku tidak peduli itu. Keputusan ku untuk pergi sudah bulat.


"Kak, aku mau kasih tau sesuatu sama Kaka." Dengan semangat karena Naura tau yang sebenarnya.


Aku tidak pedulikan apa kata adikku. Aku berlari ke kamar dan mengemas  pakaian ku.


 "Mau kemana bawa barang-barang banyak, nak?" tanya ibuku.
"Ga usah banyak nanya!"
"Tunggu nak, kamu kenapa?" Ibu mengejar ku ketika aku akan keluar dari rumah tua ini.
"Gara-gara ibu datang, hidupku jadi berubah. Aku benci sama ibu. Benciii!!!"

"Tunggu, nak."


Akupun tetap pergi dari rumah, dan ibu tetap mengejar ku. Aku berlari kencang namun tiba-tiba...


Tidiiitttttt!!! Brukk
"Ibuuuu.." aku langsung menoleh kebelakang dan mataku tertuju padanya. Aku pun langsung berlali menghampiri nya.
" Ibuuuuu..." susul Naura yang sama kagetnya denganku.
"Ibu, aku mohon bangun Bu." Kataku dengan memohon.
"Maafkan ibu, nak." dengan lirih menahan rasa sakit di badannya yang tertabrak oleh mobil.
"Ngga Bu, aku yang salah. Aku mohon ibu bertahan ya." dengan rasa menyesal.
"Kak, asal Kaka tau, ibu meninggalkan kita karena ibu ingin melindungi kita, kak. Ibu terpaksa pergi karena ayah mengancam jika ibu tidak pergi dari kehidupannya, maka kita berdua akan di buang oleh ayah dan selingkuhannya, kak." dengan tersedu-sedu.
"Jadi.., selama ini ibu ga salah? Kaka salah mengira ibu?" Hari itu, aku merasa sangat bersalah.
"Nadia, Naura.., kalian ga salah. Kalian hanya korban dari ayah kalian jadi kalian ga perlu minta maaf. Ibu minta jaga diri kalian baik-baik ya. Ibu minta maaf belum bisa membahagiakan putri-putri ibu yang cantik. I---ibu.., ibu sayang sama kalian berdua." Sambil menghembuskan nafas terakhirnya.
"Buu bangun Bu .. aku mohon ibu jangan tinggalin aku buu." Kataku dengan histeris.
"Buuu..." Naura meminta agar ibunya kembali membuka mata.
"Maafkan Aku, Bu. Maafkan akuuuuu." Kataku sambil tak kuasa menahan air mata.


Hari itu juga, ibuku di makam kan di pemakaman umum di Jakarta. Aku sangat kecewa dengan diriku sendiri. Seharusnya, aku bisa memberinya kesempatan untuk berbicara yang sebenarnya. Aku ini anak yang durhaka. Anak yang bodoh. Anak yang tak tau di untung. Anak macam apa aku ini?!. Seandainya waktu bisa ku putar kembali, aku ingin sekali merasakan kasih sayang ibu. Sudah di beri kesempatan, tapi aku malah menyia-nyiakan. Tugas ku kali ini adalah mendoakan mu. Hanya tiga kata yang bisa aku ucapkan Bu, Maafkan aku, Bu. Aku sayang, sangat sayang ibu. Tunggu aku di sana ya, Bu.
Semenjak itu, aku dan Naura tinggal berdua di rumah peninggalan ibu. Masih dengan rumah yang sangat sederhana, namun ini sangat bermakna. Bagiku, dan adikku, Naura.

 Jakarta, 20 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun