Mohon tunggu...
Desti Noer Ambarwati
Desti Noer Ambarwati Mohon Tunggu... Guru - Pelajar

Jangan lupa bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Maafkan Aku, Bu

13 Januari 2020   19:31 Diperbarui: 31 Januari 2020   16:59 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

***

Kertas putih di balut pena hitam, berisi tulisan gadis manis yang suram. Inilah kebiasaan ku. Menuliskan keluhan di buku catatan harian ku.


Hari ibu. Bagiku tidak akan pernah ada hari itu. Entah kenapa aku masih belum bisa memaafkannya. Aku begitu kecewa ketika dia hilang dan sekarang muncul begitu saja. Aku sadar, surga itu katanya berada dibawah telapak kaki ibu. Entahlah ini begitu sulit bagiku. Aku belum terbiasa hidup dengannya. Walaupun aku mulai menyadari, bahwa ia memiliki hati yang begitu tulus.

Jakarta, 8 Januari 2020

"Kak Nadiaaaaa?"
"Apa, Ra?" aku merasa terganggu.
"Di panggil ibu tuh."
"Ngapain sih orangtua itu manggil-manggil aku segala." dengan ketus aku menjawab.
Nadia pun pergi menghampiri wanita paruh baya itu.
"Ngapain sih manggil aku?"
"Duduk dulu, nak." sambil menarik tangan Nadia.
"Ayo kak sini ..."
" Ibu mau bilang bahwa rumah ini akan disita oleh pihak perusahaan karena dulu ayah telah menggadaikan sertifikat rumah ini untuk membayar utang-utangnya."
"Apa? Jadi, kita gakan tinggal di rumah mewah ini lagi?" dengan kagetnya. "Ini semua gara-gara ibu!!!" Aku pun pergi ke arah kamarku.

***

Hari baru dengan rumah yang baru. Kini aku tinggal dirumah sederhana, sangat-sangat sederhana. Pagi ini, aku bangun dengan malas. Sepertinya sisa-sisa kegelisahan ku tadi malam tentang hari ibu terbawa hingga saat ini. Aku tahu hal itu akan membuat kerutan di wajah ku bertambah, tapi mau bagaimana lagi?! Aku sudah berusaha melupakannya tapi gagal. Hari ini di mana teman-temanku berbahagia merayakan bersama ibunya di sekolah sedangkan aku? TIDAK. Iya, tidak akan pernah membawanya, dan tidak akan pernah memaafkannya. Aku tidak seperti Naura adikku. Yang baru tujuh hari di tinggal ayah tapi ia bisa canda gurau dengan ibuku.


Aku juga tetap sekolah di sekolah favorit itu, sempat ibuku bilang bahwa aku harus pindah ke sekolah yang lebih murah, tapi aku menolak. Aku memang egois, tapi aku tidak peduli itu. Kini, ibuku bekerja dengan jualan gorengan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi aku tidak pernah menghargai usaha ibuku sendiri.


"Bu, aku minta uang dong."
"Buat apa, nak?"
"Ya buat beli HP baru lah ..." dengan nada sombongnya.
"Ibu belum punya uang, ibu baru saja membelikannya untuk keperluan dagang besok."
"Alah bohong!!!" akupun mengambil dompet sang ibu, "Aku ambil semua ya, bu." sambil membawa ratusan uang di tangannya.
"Tapi nak, nanti kita mau makan apa?"
"Itu bukan urusan akuuu!!!" meninggalkan ibunya.
Naura yang baru saja pulang sekolah, menghampiri sang ibu yang sedang menangis.
"Ibu kenapa?" dengan cemas.
"Tidak apa-apa, nak." mengusap air matanya.
"Kak Nadia lagi ya, bu? Maafkan dia ya bu ..."
"Udah, cepat kamu makan."
"Baik, bu."


***

Akupun pergi ke sekolah dengan membawa uang banyak. Aku malu dengan teman-temanku karena aku ga punya handphone secanggih mereka. Aku akan belikan uang ini selepas pulang sekolah.
Namun ketika aku sampai di sekolah, aku iri melihat teman-temanku yang datang bersama ibunya sembari menggandeng tangannya. Aku sempat berfikir, kapan aku bisa seperti mereka. Ah berkhayal terus, Nad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun