Suamiku baru saja meninggal tiga hari yang lalu di sebuah rumah sakit. Entah kenapa pagi itu tiba-tiba aku ingin datang ke rumah sakit itu. Meski hujan rintik-rintik aku mengeluarkan motor matic dan mulai melaju. Aku mengenakan baju terakhir yang kupakai ketika pergi bersamanya sebelum ia sakit.
Gamis ungu dengan motif bunga berwarna merah dipadu dengan jilbab polos segi empat berwarna putih tulang. Karena hujan tidak terlalu deras, aku hanya mengenakan jaket tipis yang panjangnya sampai kebetis.
Sesampai di rumah sakit, aku menuju sebuah kursi panjang yang biasa dipakai untuk duduk para pasien rawat inap melepas kejenuhan. Biasanya saat akhir masa pemulihan ketika hampir mendekati diperbolehkan pulang.
Kursi itu berada di sebuah taman bunga, terletak di tengah rumah sakit. Terdapat saung yang terbuat dari kayu, di bagian pinggir diletakkan sarang burung yang sangat besar, hampir setinggi saung. Terdapat banyak burung yang beterbangan. Burung dalam sangkar itu dapat terbang menggerakkan sayapnya tidak bisa bebas.
Berbagai macam tanaman sangat indah dipandang mata, hijaunya mendamaikan hati. Di taman itu tumbuh tanaman dengan dedaun aneka warna, ada juga tanaman bunga warna warni yang harum dengan kupu-kupu beterbangan disekelilingnya. Namun seluarbiasa indah taman itu, tidak ada yang mau berlama-lama disitu. Selalunya bila telah dinyatakan sehat, lebih memilih segera pulang.
Tiba-tiba seseorang menghampiri dan duduk di sebelahku. Seseorang yang sangat kukenal, aroma tubuhnya dan caranya menyapaku sangat tidak asing. Ketika kutolehkan wajah, aku melihat senyumnya yang khas dengan pandangan mata lembut. Berdebar langsung dadaku melihatnya, bahagia membuncah di dada mengalirkan rindu yang menggunung. Sejak menikah kami selalu bersama, tidak ketemu selama tiga hari saja serasa bertahun-tahun.
“Mas, darimana saja ?, aku menunggumu disini sejak tadi,” kataku setengah berteriak sambil membelalakkan mata.
Saking bahagianya aku melompat-lompat lalu memeluknya dengan erat. Sepertinya tak ingin kulepaskan selamanya.
“Aku tak ingin kehilanganmu Mas, jangan pergi ya,” kataku mengucurkan air mata. Bahagianya seperti mendapatkan barang kesayangan yang telah hilang lalu tiba-tiba ia kembali.
Mas Ari membalas pelukan, mengelus punggungku dengan lembut dan melempar senyuman. Tanpa sepatah kata, ia mengajakku kearah parkiran mobil. Ia membuka pintu sebuah mobil sedan berwarna merah metallic yang belum pernah kulihat.
“Mobilnya baru ya Mas,” seruku heran.