Mohon tunggu...
Destaria Soeoed
Destaria Soeoed Mohon Tunggu... Lainnya - Young professional in edutech.

Doctoral student in Political Science. Passionate about edutech, digital marketing, social and political research in Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ektraktivisme Freeport, dan dampaknya pada Ketimpangan Sosial Ekonomi di Papua.

29 November 2024   10:50 Diperbarui: 29 November 2024   10:50 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dampak Ekstraktivisme Freeport terhadap Ketimpangan Sosial-Ekonomi di Papua

Ekstraktivisme sumber daya alam merupakan praktik pengambilan sumber daya alam secara intensif, seperti mineral, minyak, dan gas, dengan dampak signifikan terhadap masyarakat lokal. Di Indonesia, ekstraktivisme ini menjadi tulang punggung ekonomi, namun membawa implikasi sosial-ekonomi yang serius, terutama di Papua. Salah satu studi kasus paling menonjol adalah operasi tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia.

Sejarah Awal Freeport di Indonesia

Kehadiran Freeport di Indonesia dimulai pada 1967 melalui penandatanganan Kontrak Karya (KK) pertama dengan Freeport-McMoRan. Kontrak ini memberikan hak eksklusif kepada perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut untuk mengeksploitasi tambang Ertsberg di Papua, yang kemudian menjadi tambang Grasberg, salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia.

Proses ini tidak lepas dari konteks politik dan ekonomi masa itu. Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto sangat pro-investasi asing untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, kontrak tersebut dinilai terlalu menguntungkan Freeport, sementara masyarakat Papua sebagai pihak yang terdampak langsung tidak dilibatkan. Situasi ini menciptakan dasar bagi ketimpangan sosial-ekonomi yang terus berlangsung hingga saat ini.

Pada 1991, kontrak diperbarui dan diperpanjang hingga 2021. Meski ada peningkatan kewajiban Freeport terhadap pemerintah Indonesia, kontrol perusahaan atas operasional tambang tetap dominan. Baru pada 2018, melalui pengambilalihan 51% saham Freeport Indonesia oleh PT Inalum, pemerintah Indonesia mendapatkan kendali lebih besar. Namun, kendali teknis masih dipegang oleh Freeport-McMoRan, mencerminkan pengaruh kuat perusahaan multinasional ini.

Analisis Teori: Perspektif Politik Ekonomi Distribusi

Untuk memahami dampak Freeport terhadap ketimpangan sosial-ekonomi di Papua, digunakan teori politik ekonomi distribusi dari James Caporaso. Teori ini menjelaskan bagaimana distribusi kekuasaan dan kekayaan di antara aktor-aktor utama (perusahaan multinasional, pemerintah pusat, dan masyarakat lokal) menciptakan ketimpangan struktural. Dalam konteks Freeport, beberapa konsep kunci dari teori ini dapat diaplikasikan:

1. Interpretasi Kekuasaan dalam Ekstraktivisme

Kekuasaan menjadi elemen utama dalam hubungan antara Freeport, pemerintah, dan masyarakat Papua. Freeport memiliki power over atau kekuasaan untuk mendominasi kebijakan ekonomi dan sosial melalui kontrol atas sumber daya alam. Misalnya, selama dekade pertama operasinya, Freeport hampir sepenuhnya mengendalikan eksplorasi, produksi, dan distribusi tambang, tanpa banyak keterlibatan dari pemerintah lokal atau masyarakat adat.

Dalam teori Caporaso, kekuasaan tidak hanya memengaruhi distribusi sumber daya, tetapi juga menentukan siapa yang memiliki hak untuk membuat keputusan. Di Papua, pemerintah pusat dan Freeport memegang kendali utama, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penerima dampak, baik ekonomi maupun lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun