Sesungguhnya aku membenci hujan. Setiap tetesnya lahirkan pertemuan, dua tangan bergandengan, dua pasang kaki berlarian, saling membelai wajah yang basah, lalu berakhir dengan kecupan. Membuatku seperti seekor kupu-kupu dungu yang mencoba terbang dengan sayap patah.
Aku hanya sedang cemburu, pada mereka yang memiliki kekasih.
Soal kekasih, aku pernah mencumbunya di tengah rinai hujan. Aku masih ingat bagaimana rasa bibirnya yang basah. Mirip semangka merah yang kau makan kala terik. Segar, hingga ke relung jiwa.
Dan, hujan pulalah yang membuatku hampir mati. Kekasihku mencumbu perempuan lain!
Aku mulai membenci hujan. Aroma tanahnya yang basah membuatku mual. Ketika hujan turun, aku bergegas tidur. Menarik selimut, menindih daun telinga dengan bantal. Suara rintik hujan terdengar seperti rintihan. Semakin deras, semakin memilukan. Lantas kutelan obat tidur, berharap terbangun setelah hujan pergi dari rumah.
Pernah kucoba membunuh hujan. Aku mengambil pisau dapur, mengendap-endap, menghunus tetes-tetes hujan yang jatuh di pekarangan. Tanpa kusadari, rambutku basah. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasa jijik menjalar ke seluruh tubuh. Kupotong saja, rambutku.
Jangan kerutkan dahimu!
Aku tidak gila. Tidak. Aku masih bisa rasakan pedih itu. Jika mulai terasa sakit, aku menyekiknya. Sampai Ibu tiba-tiba masuk ke dalam kamar, menarik dan memukul-mukul tanganku, agar secepatnya lepas dari leherku.
"Aku tidak apa-apa, Ibu." Aku tertawa, sementara Ibu menangis memelukku.
Setelah satu tahun berlalu, bayang kekasihku muncul di awan-awan. Kelabu, seperti hatiku kala itu. Aku tahu, ia hendak meminang perempuannya. Getirku terlalu mahal untuk sebuah kabar bahagia.
*