Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Penulis - Hanya orang biasa

Hidup ini indah kalau kita bisa menikmatinya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pengantin Pembawa Petaka Eps 04

26 Agustus 2019   05:19 Diperbarui: 26 Agustus 2019   05:31 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Tidak selalu. Dewa Cinta mempunyai beberapa peralatan standar dalam bekerja. Terkadang ia harus menyamar. Jadi, ada semacam kotak peralatan di mobilku." Jawab DC.
" Batu semacam itu ditaruh di dalam mobil ? Apa gak takut hilang ?"
" Siapa yang berani mencurinya ?"
Parmita terdiam.
" Kalo kuberikan padamu, apa kamu mau terima ?" tanya DC.
Parmita menggeleng. " Takut ahh, nanti semua hantu kelihatan."
DC ketawa. Ketawa dan ketawa. Santi menoleh, mengerling seakan mengode DC tetap pada jalurnya. Dewi Not yang 3 kursi di sebelah DC menoleh,
" Ketawa sendirian kayak orang gila. Kamu pasti ketuluran penyakit Daniel." Oceh Dewi Not dengan nada kesal.
" Kemarin aku mengunjunginya. Dia titip salam buatmu, Dewi." Ucap DC.
" Pergi nggak ajak-ajak." Dewi Not ngedumel.
" Singgah, bukan mengunjungi. Komplek kami  berdekatan. "
" Pasti ngomongin aku sampai telingaku gatal semalaman."
DC ketawa lagi. Parmita menunjukkan ketidaksabarannya. " Kapan aku mendapat kabar darimu?"
" Secepatnya, paling lambat besok sore." Jawab Jonatan Ferdi.
" Okelah. Aku berangkat kerja." Parmita langsung keluar.
Dewi Not menyalak lagi. " Kuingatkan ya, Jonatan Ferdi, jangan mempermainkan anak gadis orang. Nanti kamu dikawin paksa oleh hansip," kata Dewi Not dengan sikap tak ramah.
Jonatan Ferdi tersenyum. " Enggalah. Aku sudah punya tunangan."
" Huh, ngomong aja. Kapan kamu bertunangan? Kata DC kamu pacaran dengan kuntilanak. Apa kuntilanak itu tunangannmu." Nada Dewi Not melecehkan. Jonatan Ferdi tertawa semakin keras.
" Aku gak mau ngasi tahu Dewi, biar Dewi Not penasaran sampai menceret." Ledek Jonatan Ferdi.
" Huh, segala kelakuan si Tua kamu tiru, dasar DC sialan !" umpan Dewi Not. Ia melempar majalah ke wajah DC. DC menyambut lemparan itu dengan mudah.

Nyonya Tulani kaget melihat mobil DC berhenti di depan tokonya. Ia segera menelpon anaknya. DC berjalan ke toko sambil tersenyum lebar.
" Selamat siang, nyonya Tulani. Setiap aku datang tak ada pembeli. Apa selalu begini tokomu ?" tanya DC.
" Sudah kubilang, aku hanya mengisi waktu luangku. Tanpa pembeli aku tetap hidup."
" Apa gak rugi menggaji pekerja menjago toko sesepi ini ?"
" Oh, itu kamu tak usah kuatir. Dia pembantu di rumahku. Setelah memasak dia datang kesini."
" Gajinya rangkap donk,"
Nyonya Tulani mencebik. " Digaji aja sudah bagus kok, pengangguran masih 31 persen. "
DC ketawa. Malas menanggapi.
" Sudah ada kabar baik untuk anakku ?"
" Ada sedikit. "
" Roh siapa yang bercokol di kamar anakku ?"
" Katanya, namanya Iwan Gunawan."
Nyonya Tulani mengernyitkan alis. " Iwan Gunawan ? "
" Teringat sesuatu, nyonya ?" tanya Ferdi.
Nyonya Gunawan menggeleng, bahkan langsung mengambil hape dan bertanya apakah Parmita mengenal Iwan Gunawan. Apa yang dijawab Parmita tidak terdengar oleh DC. Nyonya Tulani ber-ah oh ah oh beberapa kali, lalu hape ditutup.
" Selain Iwan Gunawan, apa yang dikatakan oleh temanmu ?" tanya nyonya Tulani.
" Temanku menggambar sebatang pohon. Apa anda tahu artinya ?"
Nyonya Tulani menggeleng cepat. DC tahu tak ada gunanya bertanya pada nyonya Tulani. Ia menunggu Parmita.
Lima belas menit kemudian Parmita tiba. DC menduga Parmita bekerja di Harapan Indah, mungkin di salah satu cluster yang sedang dibangun Harapan Indah. Begitu tiba, DC melihat wajah Parmita pucat.
DC mengulangi pertanyaan yang tadi diajukan pada nyonya Tulani ke Parmita. Parmita terlihat agak shock. Matanya menerawang saat ditanya DC.
" Iwan Gunawan adalah salah satu teman SD-ku, " ucap Parmita setelah terdiam agak lama. " Itu cerita lama, ketika kami masih tinggal di rumah nenek, jauh dari sini. Nenek tinggal di Jambi. " Parmita menunduk, lalu kepalanya terangkat mengarah ke DC. " Mengapa dia bisa datang kemari dalam bentuk roh ?"
" Artinya dia sudah meninggal," oceh DC.
" Dia meninggal akibat wabah kolera." Nyonya Tulani menyela dari samping.
" Kok mama tahu ?" tanya Parmita.
" Setelah kita pindah, mama pernah pulang mengunjungi nenek. Nenek yang cerita." Ucap Nyonya Tulani.
" Kenapa aku tak diberitahu ? " tanya Parmita.
" Kupikir mana mungkin kamu peduli terhadap mantan temanmu di kampung, sedangkan disini kamu punya banyak teman. Lagian, kamu tak pernah menanyakan hal itu."
Ibu dan anak saling tatap. Parmita menunduk duluan.
" Apa ada sesuatu yang mama tak tahu, Mit ?" tanya nyonya Tulani pada anaknya.
DC menatap Parmita.
Parmita menggeleng cepat. Terlalu cepat menurut pengamatan DC.
" Kalau tidak ada sesuatu, kenapa rohnya mengikutimu kemari ?" tanya nyonya Tulani heran.
" Aku tak tahu, sungguh aku tak tahu !" nada Parmita meninggi. DC menatap anak dan ibu itu bergantian, menunggu reaksi mereka. Parmita tak berani menatap ibunya, ia menatap ke tembok. DC merasa Parmita menyembunyikan sesuatu. Sebagai pihak ketiga, ia memilih diam, menunggu reaksi.
" Menurutmu, bagaimana hal ini bisa terjadi, DC?" tanya nyonya Tulani.
" Aku bukan cenayang, nyonya Tulani. Hanya Parmita yang tahu." DC lempar bola.
Parmita mendelik ke arah DC. DC angkat bahu. Semua diam. Hingga akhirnya nyonya Tulani tak tahan dan bertanya. " Bagaimana menyuruhnya pulang, DC ?" Nyonya Tulani mulai cemas.
" Sekali lagi, aku bukan cenayang. Urusan ini sebaiknya ditangani paranormal atau medium." Elak DC.
" Temanmu itu bisa menolong kami ?" tanya Nyonya Tulani.
" Nanti kutanyakan." Jawab DC.
" Berarti, harus menunggu dua hari baru mendapat jawaban?" nada Nyonya Tulani kecewa. " Tidak bisakah dia diajak kemari ?"
" Kuusahakan. Kalau dia mau. Aku tak bisa memaksanya." Jawab DC.
" Tolonglah, DC." Nada nyonya Tulani memohon.
" Besok kukabari. " DC berdiri, berjalan keluar, pulang dengan mobilnya.

Besoknya, jam 8 pagi DC ditelpon nyonya Tulani, bertanya bagaimana jawaban teman DC. DC mengatakan ia akan datang ke toko jam 11 siang.
Jam 11 saat DC tiba di ruko La Frenza, nyonya Tulani telah menunggu di depan tokonya. Sikapnya tak sabaran.
" Apa kata temanmu, DC ?"  tanya Nyonya Tulani begitu DC berjalan masuk ke toko.
" Aku justru ingin bertanya apa yang dikatakan Parmita."
" Dia mogok bicara sejak semalam."
" Aku sudah menduga."
" Tolonglah, DC. Katakan apa yang terjadi."
" Anda tak takut pembicaraan kita didengar pembantumu ?" tanya DC. Nyonya Tulani menyuruh pembantunya membeli minuman, lalu disuruh pulang. Dengan demikian di toko hanya tinggal mereka berdua.

Bersambung 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun