Ia ingin mengajak Akian bersama-sama menasehati ibunya, tapi semakin lama Akian semakin jarang pulang. Kalau dibiarkan, mereka pasti terusir dari rumah mereka. Akhirnya Awai tak tahan. Suatu malam, saat ibunya pulang dan marah-marah, ia memberanikan diri berhadapan dengan ibunya. Ia bersujud di depan ibunya lalu berkata.
" Mama, Awai memohon padamu, berhentilah bermain judi. Awai tak ingin rumah kita disita bandar judi..."
Mata Huina membesar, mendelik, melotot, tak percaya bahwa anaknya berani menegurnya.
" Dasar anak sial ! Siapa yang mengatakan kamu berhak melakukan apa yang kusuka !!!" Suara ibunya mengguntur, diikuti suara Plak, pipi Awai ditampar dengan sekuat tenaga.
Kepala Awai tersentak ke samping, rasa perih menjalar ke seluruh pipinya, membuat tatapannya nanar.
" Tapi, Ma. Rumah ini hasil jerih payah papa untuk tempat tinggal kita. Jika disita bandar judi, kita tinggal dimana, ma? " Awai menguatkan tekad untuk mengutarakan kekuatirannya.
" Apa peduliku ! Kamu sudah besar, begitu juga Akian. Kalian yang harus menyediakan tempat tinggal untukku !" balas Huina keras dan kasar.
" Akian pendapatannya belum mampu menghidupi keluarga kita, begitu juga gajiku. Kami berharap mama mengerti keadaan kita, tidak bermain judi lagi. Tolonglah, ma... hentikan kegiatan yang merugikan kita. Awai rela melakukan apa saja demi meminta mama berhenti bermain judi "
" Jangan sok mengaturku. Kuminta kamu jangan bergaul dengan keturunan Han, apa kamu patuh padaku?" serang Huina.
Awai terpuruk menatap lututnya. Apa ia patuh? Apa kepatuhannya merupakan syarat mamanya berhenti bermain judi? " Kalau Awai patuh, apa mama akan berhenti berjudi ? "
" Tentu ! "