Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Namaku Awai 237-239

13 Juli 2018   05:50 Diperbarui: 13 Juli 2018   06:16 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Awai mendengarkan hingga mulutnya terbuka lebar. Ia tak menyangka, demi berbaikan dengannya, Tiong It rela datang ke kuburan pada tengah malam hanya untuk mengambil setangkai bunga mawar. Kini ia yakin Tiong It benar benar mencintainya, sanggup berkorban apapun demi dirinya. Dulu ia menyangka bunga itu dibeli Tiong It dari pasar. Kini ia tahu Tiong It mendapatkan bunga itu dengan penuh pengorbanan.

Tiong It teringat janjinya pada Makcik Ros. Setelah Tan Suki pulang ke rumahnya, ia tak pernah mencari bunga ros lagi ke rumah makcik Ros. Ia bahkan tak tahu rumah itu telah dijual oleh Pak Hanif, ayahnya makcik Ros.

" Oke. Kalau begitu sore nanti kamu mengunjungi makcik Yo, aku akan ke rumah Makcik Ros, memohon agar makcik Ros tidak mengganggu Joyah atau makcik Yo jika keduanya tinggal di rumah itu. "

" Oke. Aku setuju. Sudah hampir jam satu, sebaiknya kamu pulang." Kata Awai. Tanpa membantah Tiong It berjalan keluar.

Jam 3, saat Awai membuang sisa makanan, kali ini bukan wanita parobaya yang membeli kepiting, tapi seorang anak lelaki yang paling dibenci Awai. Kam Bing Ti nyengir ketika melihat Awai membawa seember sampah lewat di depannya. Ia menutup hidung.

" Wah, tak kusangka Tan Hua Wai jadi pembantu. Menyedihkan sekali nasibmu. Mendingkamu melamar di bengkel sepeda ayahku, tak perlu mencium bau busuk setiap hari,"

Awai mencueki ocehan Bing Ti. Ia berjalan ke ujung dermaga, menuang sisa makanan, mencuci ember, lalu kembali ke pasar. Kam Bing Ti masih nangkring di depan penjual kepiting.

" Wai, anak bangsat itu tak kemari lagi, ya ?" tanya Bing Ti.

" Oh, jadi kamu yang memata-mataiku ? Siapa yang menyuruhmu, Bing? " tanya Awai geram.

" Aku dibayar, jadi aku harus tutup mulut." Jawab Bing Ti.

" Bagus. Mulutmu bau, memang pantas disumbat dengan uang kertas. " sindir Awai. Terus berjalan melewati pasar hingga masuk ke kedai kopi. Bing Ti tidak mengejarnya. Namun, ketika ia mengayuh sepeda menuju rumah sakit, ia melihat Bing Ti mengekorinya dari belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun