Tiong It ingin sekali menghibur Awai, tapi ia tak menemukan kata-kata yang tepat. Awai sering mengajak Tan Suki melatih gerak badan, ia tak malu melakukan hal itu. Yang dibenci adalah bila ketemu anak anak-nakal, ayahnya diejek mati sebelah, ditiru gaya jalannya.Â
Tan Suki tak berdaya, pasrah diejek, tapi Awai tak suka ayahnya diperlakukan demikian. Ia mengejar anak anak itu, ingin menasehati mereka supaya jangan mengejek ayahnya. Semakin dikejar semakin bertambah hebat ledekan anak-anak nakal itu. Ketiga adiknya juga mengeluh karena diejek punya ayah yang mati sebelah.
" Aku takut saat mengikuti ujian bertemu So Ting Ling. Jika ia mengadu ke ibuku, bahwa aku tidak bekerja, malah mengikuti ujian, ibuku pasti marah besar. "
Tiong It berpikir bolak-balik. Ia ingin Awai mendapatkan jerih payahnya setelah bersekolah selama 34 bulan. Selembar ijazah SMP sangat berarti bagi seorang pelajar. Setelah berpikir 10 menit, ia mengambil tangan Awai,
" Senin kamu ikut ulangan. Jangan takut pada So Ting Ling. Kamu lupa, belum ada teman sekolahmu yang tahu kamu bekerja di kedai kopi. Mana mungkin dia yang mengadu pada ibumu. " Tiong It menggenggam tangan Awai semakin erat.
Awai terdiam. Ia baru sadar sampai saat ini belum ada yang memergokinya bekerja sebagai pencuci piring. Kalau ada, tentu ia sudah diledek si Babu, bukan anak si Mati Sebelah lagi.
" Baiklah, aku ikut ujian. Kalau tak lulus, jangan salahkan Awai, ya."
Tiong It mengangguk. Awai berusaha melepaskan tangannya, namun Tiong It tak mau melepas tangannya. Awai membiarkan tangannya tetap digenggam.
Dua bulan terakhir pelajaran yang tersisa tidak banyak. Tiong It meminjamkan catatan lamanya. Awai berusaha belajar dengan baik. Ia tak ingin menghampakan harapan Tiong It.
Tan Suki melihat anaknya belajar, tidak mengganggu. Saat hendak tidur barulah ia bertanya dengan selember kertas bertuliskan : Belajar apa tadi, AWai ?
Awai menceritakan pengaturan yang dilakukan Tiong It. Tan Suki mendengarkan dengan seksama. Setelah Awai selesai bercerita, ia menulis di kertas,