" Aku Han Pusan tak pernah berbohong."
" Terima kasih, Ayi. Tapi aku tak bisa membawanya pulang. Tak ada kandang. Nanti aku dimarahi ibuku karena memelihara ternak yang dibencinya."
" Itu ada kandang kosong. Dia sering kabur dari kandangnya. Aku melihatmu suka memberinya makanan. Jadi, kuberikan dia padamu."
" Sekali lagi makasih, Ayi Pusan." Awai rasanya ingin memeluk anak babi itu. Tapi ditahan perasaannya.
" Oke. Aku harus memandikan babi-babiku. Kupelihara dia untukmu. Siapa tahu nanti kalian menikah dia sudah beranak pinak agar kamu tak perlu membeli daging saat kalian mengadakan pesta pernikahan."
Wajah Awai bersemu merah. Pusan kembali ke kandang ternaknya. Awai meneruskan perjalanan pulang ke rumahnya.
Buku yang diberi Tiong It untuk Tan Suki bukan hanya satu, tapi delapan. Semuanya buku tulis. Tan Suki belajar menulis dengan tangan kiri. Tangan kanannya kaku, sulit digerakkan. Terpaksa ia menulis dengan tangan kiri. Hasil tulisannya mencong sana mencong sini, mirip batang tanaman rambat yang membelit sebuah tongkat.
" Apa yang papa tulis ?" tanya Awai. Sore sore ia mengajak papanya berlatih berjalan kaki. Mereka berjalan hingga ke ujung jalan Rumbia.
" Ada sebuah kisah cinta yang menyedihkan, tentang cinta seorang wanita yang tulus kepada seorang pria, sayang cintanya bertepuk sebelah tangan. "
Awai membiarkan papanya berjalan sendiri, ia memegang tongkat. Ayahnya bisa berjalan 10 langkah, agak dipaksakan bisa 12 langkah, tapi Awai tak tega. Ia menunggu 10 langkah di depan, membiarkan ayahnya menyusulnya.
" Pria itu tak berani membalas cinta wanita itu karena ia sudah dijodohkan dengan seseorang."