Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Namaku Awai 175-177

12 Juni 2018   06:24 Diperbarui: 12 Juni 2018   08:56 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awai mengangguk. Tiong It memutar sepedanya untuk kembali ke pasar. Awai mengangkat ember ke atas kepala. Ia bergaya kayak gadis pemerah susu di kaleng susu Cap Nona. Ia berjalan dari kiri ke kanan, kanan ke kiri, bergaya ala milkmaid, hingga akhirnya Tiong It muncul dan bertepuk tangan melihat ulahnya.

" Aku suka susu cap nona, rasanya manis !" teriak Tiong It. Wajah Awai memerah. Ia memegang dadanya. Dadanya tak terlalu menonjol. Tidak mirip kepunyaan Marilyin Monroe yang dilihatnya di tv.

" Lebih segar susu cap beruang, lebih gampang diminum, tak perlu diseduh dengan air." Balas Awai.

" Aku tak suka yang instant. Lebih suka sesuatu yang harus diperjuangkan agar ada cerita untuk dikenang anak cucu."

" Kalau begitu, kejar dulu beruangnya, baru kamu isap langsung susu induknya. " Awai segera lari, takut Tiong It gemas dan menyelentik kupingnya. Akun sering menyelentik kupingnya jika kalah berdebat.

Tiong It mengejar. Awai berlari ke pasar, bersembunyi di tong sayur yang kosong ( penjual sayur berjualan di atas tong besar, di bawahnya tempat menyimpan sayur sisa. Jika tidak ada sayur sisa, tongnya kosong sehingga enak dijadikan tempat bermain sembunyi-sembunyian.

" Awai, dimana kamu gerangan?" teriak Tiong It ketika tidak melihat siapa siapa di pasar.

" Aku disekap Hantu Tong. Kalau berhasil menemukanku, kukasi hadiah deh."

" Hadiahnya apa ?" tanya Tiong It. Ia memelototi satu per satu tong, ada yang terkunci, ada yang bisa dibuka.

" Hadiahnya boleh mengantarku pulang."

" Oke, jangan kabur ya. "

Awai mengintip. Dilihatnya Tiong It mencari ke arah barat, ia keluar dari tong, menyusuri lorong pasar menuju timur, bersembunyi di tong paling ujung. Asik juga bermain petak umpet seperti ini, bisa menghilangkan sejenak keletihannya. Mencuri piring harus jongkok berdiri puluhan kali setiap hari. Lumayan melelahkan.

Salah satu penjual sayur memasang cermin anti tuyul di dinding tong. Kata orang, tuyul sebetulnya penakut, kalau melihat wajahnya sendiri terpantul di cermin, tuyul akan lari ketakutan dan lupa mencuri uang seperti yang diamanatkan pemiliknya. Tiong It yakin tuyul berwajah jelek barulah takut melihat bayangannya sendiri. Ia bukan melihat tuyul di cermin, melainkan Awai yang melompat masuk ke tong paling ujung. Ia tersenyum. Ia pura pura masih sibuk mencari.

" Kok gak ada, ya ? Dimana Awai bersembunyi," Tiong It bersuara, lalu jongkok, berjalan sambil jongkok ke tempat persembunyian Awai.

Awai berdiri untuk mengintip. Ia tak melihat Tiong It dimana-mana. Timbul kekuatirannya, jangan jangan Tiong It kembali ke dermaga. Belum sempat ia berpikir ingin melakukan apa-apa, dua tangan muncul di belakangnya, membekap kedua matanya. Awai kaget, ingin berpaling.

" Aku berhasil menangkapmu. Apa hadiahnya ?" tanya Tiong It, melepaskan kedua tangannya dari mata Awai. Tersenyum lebar.

" Hadiahnya yang kubilang tadi, boleh mengantarku pulang. "

" Setiap hari ?" Mata Tiong It dimainkan ke kanan dan ke kiri.

" Jangan. Nanti ketahuan ibuku. Ibuku tak suka padamu."

" Oke, aku sabar menunggu hingga dia suka padaku."

" Aku takut itu akan memakan waktu yang lama. Dan sebelum itu gangguan Ting Ling tiba duluan." Kata Awai cemas. Sekarang ia tahu. Ting Ling itu saudaranya. Ibu mereka sama sama bermarga Lim, mempunyai kakek yang sama. 

Secara posisi, Lim Lemui lebih tua tingkatannya karena ayah Lim Lemoi anak kedua, sedangkan ayah Lim Huina anak keempat. Huina seyogyanya memanggil Lemui dengan panggilan kakak, dan itu juga berlaku bagi keturunan mereka. Faktor lain, uang bisa membeli segalanya, termasuk calon suami.

" Kita nikmati selagi gangguan belum tiba. Mana sepedamu ?" tanya Tiong It, tidak menunjukkan kegentaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun