Tan Suki melihat keraguan di wajah Awai dan Tiong It. Ia menggerakkan tangannya, menyuruh keduanya berlalu dari hadapannya.
Tiong It mengambil tangan Awai, diajaknya ke kantin. Ia memesan 2 gelas teh dingin. Keduanya duduk saling diam. Awai memikirkan tulisan papanya di tangannya. Ia senang bisa berduaan dengan Tiong It, dan itu direstui papanya. Wajahnya bersemu merah.
" Makcik Yo ngomong apa hari ini ?" tanya Tiong It. Ia ingin mendengar suara Awai. Diam memang asik, tapi mendengar suara Awai lebih asik.
" Tak sabar ingin punya anak tabung. Dia mengajakku menemaninya ke Dumai. Kubilang aku tak bisa, aku harus menjaga papa. "
" Pasti dia marah, " tebak Tiong It.
" Dia bukan marah padaku. Dia marah pada papa, entah kenapa makcik mengatakan papa menghalangi kebahagianku, menjadi bebanku, menyusahkanku. Papa menangis mendengar tuduhan makcik Yo. " wajah Awai muram seakan langit sedang diselimuti awan hitam.
" Jangan dimasukkan ke hati. Makcik Yo memang begitu mulutnya. Mungkin karena itulah ia tak punya anak." Ucap Tiong It.
" Kamu percaya dia terkena kutukan?" tanya Awai.
" Percaya, tapi bukan gara-gara menyepak Samson. Aku lebih percaya mulut kasarnya yang menyebabkan seseorang marah dan mengutuknya. "
Awai terdiam. Kemungkinan itu memang lebih pas untuk menggambarkan karakter seorang Yolana. " Kurasa suaminya penyabar. "
" Sabar karena tak mau ribut dengan istrinya. Aku jadi penasaran seperti apa bentuk wajah pakcik Hoki."