" Kamu mulai mabuk kepayang. Aku yakin pemuda yang mengirim bunga mawar itu sangat tulus mencintaimu," ucap Yolana suatu sore.
" Kana dan Siumei perempuan, makcik. Bukan pemuda yang bisa membuatku mabuk kepayang." Bantah Awai.
" Perempuan takkan mengirim bunga untuk sesama perempuan. Itu kiriman seorang pemuda yang tulus mencintaimu,"
Awai menggeleng-gelengkan kepala. " Tiada pemuda yang mau mencintai gadis miskin sepertiku, makcik. Temanku bisa dihitung dengan jari. Selain Siumei dan Kana, hanya Timpang yang suka menolongku."
" Timpang ? Kenapa aku tak membayangkan pengirim bunga ini seorang pemuda timpang. Malah aku berpikir pengirim bunga ini seorang pangeran dari negeri impian."
" Ahh, makcik bergurau lah. Zaman kayak gini hanya Abunawas yang bertemu raja jin. Cerita pengeran dari negeri impian menemui gadis miskin sambil mengirim bunga itu sudah masuk musium. " bantah Awai.
" Dia orangnya ganteng, sopan, halus, lembut terhadap wanita. Dia mengirim bunga mawar, bunga yang langka ditanam orang. Orang menganggap bunga mawar berduri, malas menanam agar tak tertusuk durinya. Pemuda ini memilih mawar, karena ia menganggapmu istimewa, dia ingin menjadikanmu istimewa di hatinya. Seistimewa mawar yang jarang ditanam orang Bengkalis." Mata Yolana menerawang, mirip orang mengisap ganja.
" Hahaha.. makcik ikut terpesona dengan keelokan bunga mawar ini, kan ? Berarti makcik orangnya romantis. "
" Kalau pemuda itu muncul, apa kamu akan memeluk dan mencium pipinya seperti kamu mencium bunga mawar kirimannya ?" tanya Yolana. Semakin lama keduanya semakin akrab. Semakin banyak bicara.
" Enggalah. Kenal saja tidak, nanti aku dikatai cewe gatal kalau mencium pipinya." Pipi Awai bersemu merah.
" Apa yang akan kamu lakukan jika dia muncul sambil membawa bunga kesukaanmu? " tanya Yolana.