" Sialan, lu nyindir gua ! Aku bersimpati padamu barulah bersedia memegang lukamu. Kalau engga, jijik aku !" umpat Jean.
Langit dan bumi, itu yang dirasakan Aldi jika membandingkan Widia dengan Jean. Terpaksa ia menceritakan apa yang dialaminya, tentu saja dikurangi isinya agar  tak dinilai tolol oleh Jean. Ia juga tidak menceritakan keterlambatannya karena berkunjung ke kantor Agen Properti Jaya.
Jean tercenung mendengar cerita Aldi. Kepalanya diangguk-anggukkan, seakan mengatakan ia sedang meresapi cerita Aldi. " Kertas itu masih ada?" tanya Jean.
" Kertas apa ?" tanya Aldi. Kepalanya mumet gara-gara apa yang dialaminya.
" Kertas yang tertempel di pintu belakang,"
Aldi seakan-akan tersedak. Tapi pagi ia pulang tergesa-gesa, tidak menemukan tangkal membuatnya panik, lupa mengecek pintu belakang ia langsung ke Agen Properti Jaya. " Entahlah, aku lupa memeriksa." Ucapnya loyo.
" Sore nanti aku ikut kamu pulang untuk membuktikan omonganmu. " Jean mengangkat bokongnya dan pergi. Kali ini kepala Aldi terlalu pusing, tidak peduli bokong itu bergoyang atau tak bergerak saat dibawa berjalan oleh pemiliknya.
Saat semobil dengan Jean, Aldi terpikir omongan Widya tadi pagi. Seingatnya, persoalan keuangan yang ia hadapi hanya diceritakan pada Jean, kenapa Widia tahu ia harus menyiapkan uang biaya masuk PT Krisan? Apa Della yang bercerita kepada Widya ? Apakah persahabatan mereka begitu erat sehingga yang satu penjual bakpao yang satu penjual rumah bisa saling curhat ?
 Semakin dipikir ia merasa semakin aneh. Ia tak punya hubungan dengan  Widya, sahabat bukan, pacar apalagi, terlebih hubungan keluarga, kenapa Widya begitu berharap ia bertahan di rumah itu? Kenapa disediakan uang  sejuta untuk diberikan pada orang yang ketakutan agar bertahan tinggal di rumah itu?