Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Classic rock addict || Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing || Lulusan S1 FIKOM konsentrasi Jurnalistik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kuterbangkan Rindu bersama Sayap-sayap Doa

6 Juni 2019   08:21 Diperbarui: 6 Juni 2019   19:54 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kiri : pixabay.com, gambar kanan : pinterest

"Wah kejutan nih, mbak Nina datang ke Open House. Menggandeng sang pangeran juga!" serunya girang. Aku tertawa mendengarnya. 

"Namanya Yazid, Bu, bukan pangeran." ujarku sambil melirik Yazid yang hanya senyam-senyum.

"Mau makan ketupat kan pastinya? Nggak apa-apa nggak mudik kali ini. Ketupatnya rasanya sama kok kayak di tanah air." ucapnya sambil mengambil piring dan ketupat yang telah dipotong-potong. Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan Yazid segera duduk di salah satu sudut halaman. Mendengar kata mudik yang diucapkan Bu Jefri tadi membuat pikiranku kembali mengembara mengingat ucapan Mama pada malam-malam Ramadan kemarin. 

"Ya sudah, gak apa-apa kalau Lebaran nanti gak bisa pulang. Kan hari lain bisa pulang. Seperti tahun-tahun lalu. Cuma kalau pulang kan lebih baik, karena suasananya beda, Nin." ucapnya pasrah. 

Kala itu aku tahu kalau ucapannya hanyalah untuk menghibur dirinya karena ia tahu aku tidak bisa pulang Lebaran ini. Andaikan kau tahu, Ma, meski aku telah pergi jauh darimu, aku akan terus menjadi puteri kecilmu yang kegirangan ketika akan dibelikan baju baru menjelang Lebaran. Aku akan selalu menjadi anak remajamu yang selalu membantumu memasukkan butiran-butiran beras ke dalam kulit ketupat meski akhirnya ketupatnya bantet karena aku tidak tahu bagaimana menakarnya. Sungguh aku kangen dengan masa-masa itu. Apalagi ketika malam takbir tiba, setelah Isya, kau kelimpungan mencariku padahal aku hanya duduk di atas genteng memandang langit sambil meresapi alunan-alunan takbir di dalam dekapan gelap malam. Dan yang paling sulit buatmu adalah membangunkan aku di pagi hari untuk sholat Ied di lapangan RW belakang rumah. Aku yang tidur terlalu malam karena tenggelam dalam kekonyolan bacaan Lupus karya bang Hilman, entah itu edisi Topi-topi Centil atau Tangkaplah Daku Kau Kujitak, menjadi sulit membuka mata yang kadang membuat kita sekeluarga hampir terlambat, tapi kau akan sabar menungguku bahkan masih sempat-sempatnya membelaku di antara omelan Papa. Setelah sholat Ied dan ceramah Idul Fitri selesai, aku akan menggamit lalu mencium tanganmu yang dulu mengurus dan menjagaku. Saat itu aku merasa sebagai seorang anak terburuk di alam semesta. Dulu aku tidak mudah menitikkan air mata ketika melakukan itu tetapi ketika aku sudah mapan dan berada ribuan mil jauhnya darimu, saat itulah aku sadar bahwa betapa kau mencintaiku, betapa kau tidak mau kehilanganku, betapa kau khawatir atas segala apa yang sedang aku lakukan. Dan air mata ini tidak segan-segan jatuh dengan sendirinya dikala merindukanmu.

"Mbak Nina, silakan dimakan ketupatnya. Sayurnya mumpung masih panas." suara Bu Jefri membabat habis lamunanku.

"I..iya Bu Jefri. Makasih." sahutku.

Aku memandang piring berisi ketupat yang sudah kusirami dengan kuah sayur labusiam bertabur potongan rendang daging. Kulihat wanita paruh baya itu kembali tenggelam dalam percakapan dengan wanita-wanita seusianya. Sesekali terdengar ledakan tawa mereka. Benar, Ma, hanya ketupat, kuah sayur dan rendang, gumamku dalam hati. Yazid yang berada di hadapanku tersenyum kecil. Sepertinya ia tahu kalau aku sedang berlomba di sebuah lintasan kenangan yang tidak akan pernah mencapai garis finish. Tak lama, ia segera memasukkan sepotong ketupat ke mulutnya. 

"Kurasa, Idul Fitri tahun depan masakan ini akan kusajikan untuk keluargaku juga, ini bisa menjadi pasangan si Tajine." ujarnya sembari mengerlingkan mata penuh makna. Aku hanya tertawa kecil. Kulihat kembali Bu Jefri yang masih asyik bercerita bersama kerabat-kerabatnya. Sepertinya kusaksikan gambaran Mama yang juga suka ngobrol seperti itu bersama ibu-ibu tetangga di lingkungan rumah. 

Kulirik jam tanganku. Pukul satu siang yang berarti sudah jam enam sore di Jakarta. Selamat berbuka puasa, Ma. Saat ini genderang takbir pasti tengah bertalu-talu. Semalam aku tidak bisa mendengarnya, tidak ada suara-suara takbir yang bergema di angkasa seperti di sana yang sepertinya tak sabar menyongsong hari kemenangan. Meski tahun ini aku tidak bisa pulang, kau pasti tahu kalau aku ingin sekali bersimpuh, mencium tanganmu di pesta esok. Dan di dalam setiap desah nafas ini, di tiap-tiap kunyahan ketupat dengan kuah sayurnya yang tak selezat racikan tanganmu, di antara langkah-langkah menuju tempat sholat Ied yang tak kurasakan segembira ketika melangkah bersamamu, rindu ini kuterbangkan dengan sayap-sayapnya yang kokoh penuh doa beserta permohonan maaf atas segala kesalahan-kesalahan dan kekhilafanku. Selamat Idul Fitri, Mama.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun