Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Classic rock addict || Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing || Lulusan S1 FIKOM konsentrasi Jurnalistik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kuterbangkan Rindu bersama Sayap-sayap Doa

6 Juni 2019   08:21 Diperbarui: 6 Juni 2019   19:54 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kiri : pixabay.com, gambar kanan : pinterest

"Sekarang kukatakan kepadamu kalau kau lebih beruntung daripada aku. Aku memang bahagia bisa bertemu orang tuaku setiap Lebaran tiba, tetapi pertemuan itu hanya lewat jalur doa yang kukirim buat mereka. Jarak yang memisahkan aku dan mereka sudah abadi. Insha Allah doa-doaku sampai. Orang tuaku sudah tidak ada, Nina. Mereka yang kusebut sebagai orang tua sekarang adalah orangtua angkatku. Mereka sangat sayang padaku tetapi tidak pernah menggerakkan aku agar aku menjadi lebih baik lagi, apalagi mengingatkanku untuk menjenguk saudara-saudaraku di Maroko sana. Tidak pernah. Mereka melepasku. Namun aku bukanlah seseorang yang tidak tahu diuntung. Aku mencintai mereka dan selalu berterimakasih sudah mengasuhku sebagai anak di mana segala kebutuhanku selalu terpenuhi." lanjutnya. Sampai di situ Yazid tidak melanjutkan ceritanya. Kurasa ia membiarkan aku membuat kesimpulan sendiri. Bayang-bayang Mama kemudian timbul di hadapanku bersama pertanyaan yang sama tiap Ramadan tiba,

"Lebaran nanti kamu bisa pulang, gak Nin?" tanya Mama seminggu setelah puasa berjalan. 

"Belum bisa, Ma, gak bisa cuti. Gak ada slot.” jawabku.

“Semalam Mama inget sewaktu kamu masih kecil dan Mama mengajakmu membeli baju Lebaran. Kamu pasti memilih kaos yang bergambar bunga-bunga. Namun setelah kamu remaja kamu lebih suka yang simpel, yang polos-polos. Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Kayaknya baru kemarin kamu masih berkumpul di sini di samping Mama ketika Lebaran, sholat Ied bareng, makan ketupat, Mama inget kamu tidak pernah mau memakan sayurnya cuma mengambil kuahnya aja. Ketupat, kuah sayur dan rendang daging.” Mama berucap lirih. 

Aku mengerti, ia sangat berharap aku pulang. Aku pun tahu, seorang ibu tidak akan pernah mau membebani anaknya. Dan aku pun sungguh memahami, kata-kata Mama yang seperti ini adalah sebuah harap-harap cemas agar aku pulang, rangkaian kalimatnya tadi adalah sebuah ungkapan kerinduannya akan aku, anak yang hanya tinggal satu-satunya setelah Papa dan adikku tewas seketika dalam sebuah peristiwa perampokan, beberapa hari sebelum Lebaran, beberapa tahun silam. 

Jujur saja, beberapa bulan setelah pemakaman mereka, aku sudah malas menjalani hidup. Rumah terasa kosong, tidak lengkap lagi. Apalagi saudara-saudaraku hanya datang menjenguk jika ada maunya saja alias minta atau minjem duit. Sejak saat itu pulalah, ketika aku lulus mendapat gelar sarjana, aku segera memberanikan diri melamar kerja di luar negeri agar bisa mencari kehidupan baru. Aku beruntung dibantu oleh salah seorang kenalanku yang bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah bandara di luar kota Paris yang akhirnya mengantarkan aku kepada sebuah peluang untuk mengikuti sekolah pelatihan menjadi petugas Air Traffic Controller. 

Kehidupanku di sini bukanlah seperti sulap yang tiba-tiba langsung menjadi indah. Di awal-awal kedatanganku, aku lebih dulu bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran kecil pinggiran kota yang hanya buka pada malam hari. Setelah mereka tidak membutuhkanku lagi, aku mendapat pekerjaan sebagai tukang sapu di sebuah salon potong rambut ternama di pusat kota Paris yang terkadang kliennya adalah kaum jetset dan selebritis Prancis. Aku menikmati alur-alur kehidupanku yang seperti itu. Setelah aku settle dengan pekerjaanku sebagai staff Air Traffic Controller, aku meminta Mama untuk tinggal di sini bersamaku namun usulanku selalu ditolaknya halus. Sampai akhirnya aku menyerah untuk memintanya lagi.

"Oh, aku lupa. Ibuku membuatkan tajine ayam ala Maroko untukmu. Ia bilang, masakannya itu khusus untuk seorang wanita tercantik yang pernah ia lihat." suara Yazid tiba-tiba mengagetkanku. Aku terbangun dari lamunanku dan menyadari kalau Yazid sudah memarkir mobil Renault Twingo hitamnya beberapa langkah dari gedung tempat acara Open House berlangsung.

"Tajine-nya kutaruh di jok belakang. Kakak perempuanku, Nawel juga membuatkanmu Feqqas, kue kering asal Maroko. Bahan-bahannya simpel. Cuma dengan telur, tepung, baking powder dan gula. Terkadang kami menambahkannya dengan kismis atau kacang almond. Pasangannya yang paling pas adalah segelas mint tea." ia menjelaskan bak acara masak-memasak di televisi. Kutengok sebentar kursi belakang di mana Yazid menaruh kue dan masakan buatan keluarganya untukku. "Terima kasih untuk perhatian mereka padaku." ucapku sambil memandang Yazid dalam-dalam. Ia memang seorang pria yang baik.

Ia nampak sangat tampan dengan jins biru tua dipadukan kaos berwarna putih polos dibungkus sebuah blazer casual abu-abu, benar-benar matching dengan warna kulitnya yang cokelat susu. Hari itu, rambutnya yang gondrong tanggung diberi gel sehingga tampilannya terlihat klimis manis berpadu serasi dengan kedua lesung pipit yang samar-samar tertutup jenggot tipisnya yang selalu menambah seleraku untuk terus menatap di kala ia tersenyum. "Ketupatmu sudah menunggu. Kau masih bisa menatapku sembari makan kok." candanya lalu menyentuh lembut pipi kananku. Kami pun tertawa.

Open House yang digelar di sebuah tempat bernama Wisma Duta, beberapa menit dari kota Paris itu mampu menyedot masyarakat Indonesia untuk datang, kurasa mereka punya tujuan yang sama denganku, memangsa sang ketupat tersohor yang menjadi santapan langka di sini ketika Idul Fitri tiba. Ketika masuk, aku disambut Bu Jefri yang memang sudah sering melihatku wara-wiri di kedutaan ketika mengurus paspor, membeli makanan di kantin atau sekedar menemani kenalan-kenalanku untuk mengurus long-stay visa ke Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun