Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Classic rock addict || Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing || Lulusan S1 FIKOM konsentrasi Jurnalistik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Perkenalkan, Inilah Masjid Tertua di Prancis

7 Mei 2019   06:45 Diperbarui: 7 Mei 2019   14:16 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid tertua di Prancis, La Grande Mosquée de Paris, dalam jepretan kamera dari sudut seberang jalan (foto : Derby Asmaningrum)

Namanya La Grande Mosquée de Paris (grande artinya besar, mosquée berarti masjid, Paris artinya… yaa tau sendiri lah yaaa…) atau Masjid Raya Paris, begitu mungkin jika diterjemahkan ke dalam bahasa nasional kita. 

Grande dilafalkan grongd dengan sedikit penekanan pada huruf ‘d’, mosquée dilafalkan moske dengan 'e taling' seperti kita mengucapkan kata ukulele, de diucapkan dengan 'e pepet' seperti kita mengucapkan ‘de’ pada kata ‘depan’ sedangkan Paris diucapkan tanpa menyebut huruf ‘S’ di belakangnya. Bingung? Saya juga! Ahahahaha…

La Grande Mosquée de Paris terletak di tengah kota Paris, ibu kota negara Prancis, berdiri tegak di kawasan yang bersuasana tenang diapit berbagai macam pertokoan dan restoran kecil serta barisan bangunan apartemen penduduk yang menjulang tinggi. 

Salah satu sudut masjid bersinggungan langsung dengan jalan raya yang dilalui oleh beraneka ragam kendaraan dan di seberangnya berdiri sebuah museum kelautan Prancis yang bertetangga dengan sebuah taman bunga yang banyak dikunjungi warga setempat.

Peta kota Paris. Lingkaran warna fushia adalah letak di mana Masjid Raya Paris berada. Lingkaran berwarna ungu adalah lokasi Menara Eiffel (peta : plandeparis.info)
Peta kota Paris. Lingkaran warna fushia adalah letak di mana Masjid Raya Paris berada. Lingkaran berwarna ungu adalah lokasi Menara Eiffel (peta : plandeparis.info)

Sejarah singkat
Masjid Raya Paris merupakan masjid tertua di Prancis Metropolitan (France Métropolitaine). Prancis Metropolitan yang saya maksud adalah wilayah Prancis yang berada di daratan Eropa termasuk Corsica.

Prancis juga memiliki wilayah Departemen Seberang Lautan (Départements et Régions d'Outre-Mer atau DROM) yaitu French Guiana, Mayotte, Réunion, Guadeloupe, dan Martinique. 

Masjid ini adalah induk dari semua masjid yang bertebaran di Prancis dan dijadikan acuan oleh umat muslim di negara ini yang berjumlah sekitar 5,7 juta jiwa (8,8 persen dari populasi pada tahun 2016) untuk segala kegiatan keagamaan dan perayaan hari-hari besar Islam. 

Berdirinya La Grande Mosquée de Paris dan l'Institut Musulman (Islamic Centre) dicetuskan oleh Si-Kaddour Ben Ghabrit yang berkebangsaan Algeria sekaligus seorang petinggi di lembaga Habous, suatu asosiasi didirikan tahun 1917 yang mengurus ibadah Haji bagi negara-negara di benua Afrika bagian utara. 

Selain itu, pendirian masjid ini juga sebagai penghormatan kepada para pejuang muslim Prancis yang gugur dalam peperangan pada Perang Dunia I (1916) dan pertempuran yang terjadi di kota Verdun, wilayah Lorraine, bagian timur Prancis.

Pemerintah Prancis memberi kucuran dana untuk pembangunan ruangan masjid dan Islamic Centre, perpustakaan serta ruang seminarnya. Kota Paris pun turut membantu merealisasikan terwujudnya rumah ibadah ini dengan memberi lahan yang dulunya adalah sebuah rumah sakit bernama l'Hôpital de la Pitié. 

Setelah peletakan batu pertama dilakukan pada tahun 1922, asosiasi Habous pun mempercayakan pembuatan masjid ini kepada 2 orang arsitek Prancis bernama Robert Fournez dan Maurice Mantout.

Akhirnya La Grande Mosquée de Paris diresmikan pada 15 Juli 1926 yang dihadiri oleh Presiden Prancis Gaston Doumuerge dan Sultan Maroko, Moulay Youssef. Pada tahun 1929, Raja Mesir, Raja Fuad I menghadiahkan sebuah mimbar tempat berkhotbah yang dipergunakan hingga hari ini.

Berdiri di atas tanah seluas 7500 meter persegi, Masjid Raya ini memiliki ruang sholat bagi pria dan wanita, tempat berwudhu, madrasah, perpustakaan, ruang seminar, taman bunga bernuansa Arab seluas 3500 meter persegi serta sebuah restoran, ruang untuk melakukan Hamam (mandi uap atau sauna yang terkenal dengan nama Turkish Bath) dan sebuah toko suvenir. 

Prancis pun memasukkan La Grande Mosquée de Paris dan Islamic Centre-nya ke dalam daftar Monumen Historik dan dikategorikan sebagai Warisan Abad ke-20.

Pada tahun 1994, Menteri Dalam negeri Prancis yang mengurusi hal-hal berkaitan dengan keagamaan, Charles Pasqua, memberi wewenang kepada masjid ini untuk mengeluarkan sertifikasi halal. 

Terbuka untuk umum
Siapa saja yang berasal dari mana saja diizinkan mengunjungi masjid yang dapat menampung sekitar 1000 orang ini dengan syarat harus berpakaian sopan serta menjaga tingkah laku. Adapun ruangan yang tidak boleh dimasuki publik selain mereka yang menganut agama Islam adalah ruang sholat, mimbar tempat Imam berkhotbah dan ruangan membaca Al-Qur'an.

Masjid Raya Paris membuka pintu selebar-lebarnya bagi publik yang ingin bertamu dari Senin hingga Minggu yang dibagi menjadi 2 sesi, yaitu pada pukul 9 pagi hingga 12 siang dilanjutkan kembali pukul 2 siang hingga 6 sore, kecuali hari Jumat karena ada soljum alias Sholat Jumat dan juga ketika ada perayaan hari besar umat muslim seperti Idul Fitri atau Idul Adha. 

Biaya yang diminta sebesar 3 euro (sekitar 47.700 rupiah) untuk dewasa, tarif khusus buat anak-anak dan grup rombongan sebesar 2 euro (sekitar 31.800 rupiah). Biaya yang segitu memang merupakan harga rata-rata untuk kunjungan sebuah tempat historik dan museum di sini. Tur dengan seorang guide juga tersedia tergantung permintaan namun hanya dalam bahasa Prancis.

Ketika menyambangi masjid hari itu, saya agak terkecoh dikala mencari pintu masuk utama karena memang ada 2 pintu lain yang langsung menghadap ke jalan raya. 

Bolak-balik celingukan tanpa ada yang bisa ditanya karena suasana sepi setelah hujan mengguyur kota Paris dan sekitarnya sejak pagi berselimutkan suhu 10 derajat Celcius, akhirnya saya menemukan pintu utamanya yang ternyata menghadap ke jalan kecil yang hanya bisa dilewati kendaraan satu arah, bukan menghadap langsung ke jalan besar.

Pintu masuk utama masjid dengan menaranya (foto : Derby Asmaningrum)
Pintu masuk utama masjid dengan menaranya (foto : Derby Asmaningrum)

Pintu masuk masjid yang menghadap jalan satu arah dengan akses untuk para penyandang disabilitas (foto : Derby Asmaningrum)
Pintu masuk masjid yang menghadap jalan satu arah dengan akses untuk para penyandang disabilitas (foto : Derby Asmaningrum)

Setelah melewati pintu masuk, saya langsung diarahkan oleh tanda panah hijau yang menuntun saya menuju resepsionis sekaligus kasir untuk membeli karcis. Suasana saat itu lumayan ramai. 

Beberapa orang terlihat berlalu-lalang, ada pula yang tengah asyik bercakap-cakap. Ternyata hari itu bukan saya saja yang mempunyai niat berkunjung. Setelah membayar, saya bergegas meninggalkan lobi sembari melintasi sebuah layar berisi jadwal sholat hari itu.

Waktu sholat dan sebuah papan informasi yang bertengger pada dinding lobi (foto : Derby Asmaningrum)
Waktu sholat dan sebuah papan informasi yang bertengger pada dinding lobi (foto : Derby Asmaningrum)
Injakkan kaki pertama saya langsung menempel pada halaman masjid yang sebetulnya adalah ruangan terbuka yang dikelilingi dinding masjid dengan sebuah kolam di tengah-tengahnya, namun saat itu halaman tersebut terpaksa dipasangi penutup agar terhindar dari derasnya hujan. 

Kedua mata pun langsung dimanjakan oleh warna-warni dinding yang didominasi warna coklat tua ditemani oleh pilar-pilarnya yang berwarna krem. 

Penampakan halaman masjid yang pada saat itu berstatus indoor karena hujan yang deras mengguyur (foto : Derby Asmaningrum)
Penampakan halaman masjid yang pada saat itu berstatus indoor karena hujan yang deras mengguyur (foto : Derby Asmaningrum)

Desain dan arsitektur La Grande Mosquée de Paris terinspirasi dari Masjid Al-Quaraouiyine yang berada di kota Fez, Maroko yang merupakan salah satu masjid pemegang peranan penting di sana sekaligus menjadi salah satu masjid tertua di dunia. 

Keseluruhan dekorasinya terutama Zellige (salah satu bentuk Islamic art yang merupakan karakteristik utama dalam arsitektur Maroko berupa mosaik berpola geometrik yang digunakan untuk menghias dinding, kolam, langit-langit, dan meja) dikerjakan langsung oleh para pengrajin asal Maroko, Tunisia dan Algeria dengan bahan-bahan tradisional. 

Dinding masjid yang bernafaskan arsitektur Maroko dengan sang burung yang ikut mengagumi (foto : Derby Asmaningrum)
Dinding masjid yang bernafaskan arsitektur Maroko dengan sang burung yang ikut mengagumi (foto : Derby Asmaningrum)

Setelah puas mengitari halaman masjid, saya beralih ke pintu belakang yang membuka jalan menuju taman. Meski rintik hujan datang lagi, hal itu tidak menggagalkan niat beberapa orang untuk berpose dengan latar taman masjid dengan bunga-bunga dan dekorasi dindingnya. 

Memang benar, masjid ini tidak hanya dinikmati oleh kaum muslim saja, saya perhatikan banyak pengunjung orang kulit putih a.k.a para bule, ada pula rombongan turis dari luar Prancis entah mereka bercakap dengan bahasa dari negara mana yang langsung sibuk foto-foto dengan kameranya yang super modern jika dibandingkan dengan saya yang hanya menggunakan telepon genggam yang butut dan ketinggalan zaman.

Tampilan taman Masjid Raya Paris yang mengusung tema 'Arabic Garden' (foto : Derby Asmaningrum)
Tampilan taman Masjid Raya Paris yang mengusung tema 'Arabic Garden' (foto : Derby Asmaningrum)

Taman Masjid Raya Paris ini dipenuhi dengan aneka kembang dan sebuah air mancur utama yang saat itu dimatikan karena kalah saing sama air hujan alias cuaca yang sedang tidak mendukung. 

Dari taman ini bisa terlihat menara masjid yang menjulang setinggi 33 meter. Desain menara itu sendiri terinspirasi oleh Masjid Zitouna di Tunisia. Di Prancis, sebagai pemeluk agama Islam, kita jangan pernah mengharapkan sang menara masjid akan membunyikan suara azan seperti di tanah air. 

Menara masjid yang dibangun merupakan murni karya arsitektural. Azan masih akan tetap terdengar tetapi hanya di dalam lingkup masjid saja tidak disiarkan melalui pengeras suara mengingat Prancis adalah sebuah negara sekuler. 

Menara beserta pintu yang menghubungkan taman dengan halaman masjid dilihat dari semak-semak di antara bunga-bunga (foto : Derby Asmaningrum)
Menara beserta pintu yang menghubungkan taman dengan halaman masjid dilihat dari semak-semak di antara bunga-bunga (foto : Derby Asmaningrum)

Di seberang taman, terdapat koridor yang dinding-dindingnya juga dihiasi ornamen Zellige dan satu ruang serbaguna yang saat itu akan digunakan untuk sebuah pertemuan. 

Salah satu koridor masjid (foto : Derby Asmaningrum)
Salah satu koridor masjid (foto : Derby Asmaningrum)

Setelah taman, saya beralih ke ruang ibadah. Di masjid ini, tempat sholat untuk pria dan wanita dipisah, bahkan terpisah sangat jauh. Bagi kaum pria, ruangannya terletak di salah satu sudut halaman masjid, dilapisi karpet hijau dan terlihat sangat nyaman. 

Sedangkan ruang sholat untuk para wanita, saya harus berputar-putar mencari berulangkali dan ternyata ia bersembunyi di lantai dasar bawah tanah di mana saya harus melewati halaman samping masjid lalu menuruni tangga sekali lagi untuk akhirnya menemukan ruangan sholat tersebut.

Ruangan sholat untuk pria (foto : Derby Asmaningrum)
Ruangan sholat untuk pria (foto : Derby Asmaningrum)

Penampilan ruangan sholat bagi wanita nampak sangat sederhana dibanding dengan ruang sholat pria. Meski luas namun terasa agak pengap. Ketika saya masuk, terlihat satu dua wanita paruh baya yang tengah melaksanakan sholat di mana saat itu masih masuk waktu Dzuhur. 

Di sudut ruangan terdengar alunan syahdu ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kemudian saya mengalihkan pandangan ke sudut lain di mana terdapat sebuah rak berisi beberapa kitab suci yang tersusun rapi. Di sudut lain juga terdapat beberapa mukena untuk dewasa dan anak-anak yang digantung rapi, bisa digunakan oleh siapa saja yang hendak sembahyang di sana.

Perihal terpisahnya ruangan sholat antara pria dan wanita memang sudah menjadi kritik dari perkumpulan wanita muslim yang menamakan diri mereka Les Femmes dans La Mosquée (Para Wanita di Dalam Masjid). 

Mereka menginginkan agar wanita bisa melaksanakan sholat di dalam ruangan yang sama dengan para pria. Dengan dipisahkan seperti ini, perkumpulan tersebut merasa bahwa wanita dianggap seakan tidak nampak keberadaannya. Tapi kalau saya pribadi sih, no problemo, yang penting saya bisa beribadah dengan tenang tapi mungkin bisa dikasih AC atau kipas angin biar nggak pengap. Ahahahaha... 

Penampilan ruang ibadah untuk para wanita (foto : Derby Asmaningrum)
Penampilan ruang ibadah untuk para wanita (foto : Derby Asmaningrum)

Bagian masjid yang terakhir saya kunjungi adalah restorannya. Ia memang menempel menjadi satu dengan bangunan utama masjid namun memiliki pintu masuk tersendiri di mana saya harus keluar dari area masjid terlebih dahulu. 

Restoran ini terbuka untuk umum dan menjadi tempat bertemu atau berkumpul para kawula muda dengan berbagai jenis warna kulit kecuali kulit buaya apalagi kulit milik si buaya darat. Ahahahah. 

Selain menyediakan menu makanan khas kawasan Maghreb (negara-negara muslim di benua Afrika bagian utara diantaranya Maroko, Algeria dan Tunisia) seperti couscous, tajin serta kue-kue kecilnya ditemani segelas teh beraroma mint (mint tea) yang menyegarkan, pengunjung juga bisa menikmati shisha dan bagi para wanita yang ingin bersih-bersih badan, tersedia ruangan mandi uap atau lebih dikenal dengan Turkish Bath namun di Prancis lebih akrab disebut Hamam. 

Karena tidak punya waktu untuk ber-hamam ria disebabkan duit yang pas-pasan dan waktu yang semakin ngos-ngosan, akhirnya saya hanya membeli sekitar 5 kue-kue kecil yang tiap kuenya dibandrol 2 euro (sekitar 32 ribu rupiah) dan tak lupa pula saya memesan mint tea yang dikenai juga harga 2 euro untuk tiap gelasnya yang berukuran imut-imut. 

Barisan kue-kue yang menggugah mata, lidah dan... dompet! (foto : Derby Asmaningrum)
Barisan kue-kue yang menggugah mata, lidah dan... dompet! (foto : Derby Asmaningrum)
Restoran Masjid Raya Paris yang kerap didatangi pengunjung. Pelayanannya cukup ramah dengan kalimat pertama yang selalu sama kepada setiap pelanggan :
Restoran Masjid Raya Paris yang kerap didatangi pengunjung. Pelayanannya cukup ramah dengan kalimat pertama yang selalu sama kepada setiap pelanggan : "Mau pesan mint tea?" (foto : Derby Asmaningrum)
Berkaitan dengan puasa di bulan Ramadan yang telah dimulai Senin 6 Mei kemarin, masjid ini akan mengadakan pameran buku dengan mengundang sejumlah penulis Prancis ternama. 

Selain itu, program-program rutinnya seperti kursus Bahasa Arab, pendalaman Al-Qur'an, dan sebagainya tetap berjalan seperti biasa. Berikut jadwal puasa untuk Prancis bagi yang penasaran ingin tahu. Jangan kaget kalau beduknya jam setengah 10 malam karena di bulan Mei hingga Juli sang matahari terbit lebih awal dan terbenam lebih lama. 

Sumber : mosqueedeparis.net
Sumber : mosqueedeparis.net

Sebuah tempat apalagi tempat beribadah sekaligus pusat kegiatan keislaman seperti Masjid Raya Paris ini tidak akan menjadi besar dan 'ternama' jika tidak ada tangan-tangan yang menggerakkannya. 

Adalah sang rektor bernama Dr. Dalil Boubakeur yang telah memegang komando La Grande Mosquée de Paris sejak tahun 1992 yang menjadikan masjid ini sebagai jembatan antara pemerintah Prancis dengan penduduknya yang memeluk agama Islam. 

Setahun setelah kepemimpinannya, pada tahun 1993, Beliau mendirikan l'Institut Al-Ghazali, sebuah lembaga pendidikan keagamaan diperuntukkan untuk calon-calon Imam. 

Mufti yang lahir di kota Skikda, Algeria, 77 tahun yang lalu ini mengatakan bahwa peran dari Masjid Raya Paris adalah mempertahankan kehadiran Islam di Prancis. 

"Sebagian besar komunitas yang ada di Masjid Raya ini adalah orang-orang Algeria karena negara ini dijajah Prancis lebih dari 100 tahun lamanya dan kini sudah tersebar sekitar 3 juta orang keturunan Algeria di sini. Namun kami (La Grande Mosquée de Paris) ada untuk seluruh umat muslim dan senantiasa menjaga keserasian hubungan dengan pemerintah Prancis." tegasnya.

Rektor La Grande Mosquee de Paris dan Islamic Centre, Dr. Dalil Boubakeur (foto : middleeasteye.net/Kait Bolongaro)
Rektor La Grande Mosquee de Paris dan Islamic Centre, Dr. Dalil Boubakeur (foto : middleeasteye.net/Kait Bolongaro)
Ya, La Grande Mosquée de Paris memang bukan masjid terbesar dengan segala kemegahan yang kasatmata. Tapi ia megah bersama sejarah yang mengikutinya, ia mewah di dalam hati tiap-tiap umat muslim yang dapat beribadah di dalamnya dengan khidmat. Dan mengutip pernyataan sang rektor, bahwa kota Paris pun bangga memiliki sebuah Masjid Raya yang menjadi simbol agama Islam di Prancis. 

Ramadan Mubarak
Ramadan Kareem

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi teman-teman Kompasianer yang menjalankan

Derby Asmaningrum
Prancis, 7 Mei 2019

Referensi:
francais.rt.com
mosqueedeparis.net
middleeasteye.net
wikipedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun