Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Classic rock addict || Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing || Lulusan S1 FIKOM konsentrasi Jurnalistik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kupesan Secangkir Cinta di Kedai Kopi

14 September 2018   03:47 Diperbarui: 14 September 2018   05:26 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nggak mungkin deh! Masa cuma gara-gara kopi aku jadi jatuh cinta? Kopinya yang enak atau yang membuat kopi yang sudah membuatku mabuk kepayang? Ahayy. Aku berusaha mati-matian menyingkirkan pikiran itu dari tadi. Bahkan mungkin sudah dua hari ini, semenjak aku berhenti untuk makan siang di sebuah kedai kopi di sudut kota Tanjung Pandan. 

Bang Irwan, guide ku selama di Belitung memang mengajakku untuk makan di kedai ini. Aku ikuti saja. Ternyata makanannya enak sekali. Aku makan Gangan, makanan khas Belitung yang berbahan dasar ikan Ketarap, kunyit dan nanas asli Belitung. Setelah menyantap Gangan, Bang Irwan menawariku untuk memesan kopi. Awalnya aku menolak karena aku tidak suka kopi. 

Tapi karena ada seorang Bapak yang sedang menyeruput kopi di belakangku dan harumnya mengoyak-ngoyak hidungku, aku menyerah dan memesan segelas kopi. Lagipula Bang Irwan bilang tidak afdol kalau ke Belitung tanpa mencicipi kopi di sana. Akhirnya dengan segan aku beranjak menuju dapur kedai tersebut. "Bang, kopi manis satu kasih susu sedikit ya." pintaku pelan. Seketika pria yang kupanggil Abang tadi pun membalikkan badannya. Dia melihatku sekilas dan menjawabku, "Sebentar, ya." Tiba-tiba aku seperti tersengat listrik. 

Tubuhku langsung lunglai. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari Abang tadi. Kedua mataku seperti terhisap medan magnet. Bagiku dia sungguh menarik. Tubuhnya tidak begitu tinggi, wajahnya terlihat mungil dengan rambutnya yang ikal gondrong dibiarkan jatuh di bahunya. Pokonya aku suka. Intinya aku langsung klepek-klepek ketika melihat dia. Beberapa menit kemudian sang kopi mendarat di mejaku. "Abang asli orang sini ya?" tanyaku sambil terus mengikuti gerak geriknya. "Iya." jawabnya lagi-lagi hanya menatapku sekilas lalu menundukkan kepalanya. 

Pemalu rupanya si Abang ini. Aku jadi semakin penasaran. Langsung saja kuhantam dengan pertanyaan muka tembok alias nggak pake malu. "Nama Abang siapa?" tanyaku sambil terus memperhatikan si Abang bak lukisan bernilai tinggi yang dipajang di galeri seni. Keren amat sih, batinku gemes. Saking terkesimanya, aku tidak sadar kalau si Abang sedang balik menatapku. 

Matanya itu, lho yang sendu-sendu sayu merayu. Aku jadi gelagapan sendiri dibuatnya. Terpaksa deh pura-pura nyeruput kopi yang dihidangkannya tadi. Enak ternyata. Soalnya minumnya sambil kepincut sih, batinku lagi. Aku tertawa sendiri. Kali ini kulihat dia tersenyum kecil. "Kau dari Jakarta?" tanyanya pelan. "Iya." jawabku. "Namaku Uwi." ujarku cepat. "Tadi aku nanya nama Abang." Dia mengulurkan tangannya. Aku pun refleks menyambutnya.

"Dharma." sebutnya lalu tersenyum.

Aku seketika terlempar ke awang-awang dan bingung apakah harus kembali lagi ke bumi atau tidak. Tapi sebaiknya aku kembali saja karena nyatanya dia meresponku. Hahah! 

"Kau panggil saja aku Dharma. Tak usah pakai Abang." pintanya. Gila! Ini hari terindahku!

*

Dua hari setelah peristiwa kenalan bersejarah di kedai yang ternyata miliknya tersebut, Dharma mengajakku jalan-jalan. Hari ini adalah hari terakhirku di Tanjung Pandan dan besok sore hampir petang aku kembali ke Jakarta. Sebetulnya aku sangat menyesal tidak bisa bertemu dengan Dharma keesokan harinya setelah perkenalan itu karena jadwal tur ku selama dua hari kemarin adalah mengunjungi kota Manggar di Belitung Timur.

Jam menunjukkan pukul empat sore ketika kami tiba di pantai yang ia sebut namanya sebagai Pantai Tanjung Kelayang.
"Kau suka tempatku ini?" tanya Dharma sambil menatap lautan luas di hadapan kami. Aku menoleh. Kulihat rambutnya yang menari-nari dimainkan angin sore. Rasanya aku ingin langsung memeluknya. 

Tapi aku tahu hanya ada dua hal yang akan terjadi setelah itu. Pertama, dia langsung menolak pelukanku dan berlalu. Kan baru kenal, gitu looch! Hal yang kedua adalah kebalikannya, dia biarkan aku memeluknya. Masa aku harus hompimpa sendirian sih menebak-nebak? Tak sadar aku tersenyum-senyum sendiri terbawa khayalanku. Tak tahunya Dharma sudah menatapku. Sorotan matanya bak lampu mercu suar yang terang menderang di malam hari. Aku terjatuh lagi di dalam tatapannya. Tak berkutik. Seketika aku hanya mau bangkit dan kalau perlu kubuat dia yang jatuh. Jatuh cinta kepadaku.

"Ya, aku suka sekali Belitung. Pulau-pulaunya yang indah, air lautnya yang jernih. Memanjakan mata." Aku antusias menjawab pertanyaan Dharma. Dia tersenyum kecil. Dan kurasa aku juga sudah menemukan apa yang kucari selama hidupku, teriakku dalam hati. Kuperhatikan lagi Dharma yang kembali menatap lautan. Aku suka penampilannya yang sederhana, cuek dan apa adanya. Dia satu di antara trilyunan. Tidak seperti orang-orang kota metropolitan yang banyak gaya padahal kepala mumet hutang melilit di sana-sini.

"Kamu sudah punya pacar?" Tiba-tiba aku mengeluarkan pertanyaan yang menembak. Aku pun bersungut memarahi otak dan mulutku yang berucap seperti itu. Kutunggu jawaban Dharma.

"Aku baru saja bercerai. Lima bulan yang lalu." jawabnya santai. Aku diam sejenak.

"Dan aku senang dengan perceraianku. Aku lega." sambungnya masih dengan santai. Aku masih diam. Terbersit keinginan untuk tanya penyebab ia bercerai namun aku sentil jauh-jauh pikiran kepo ku itu.

"Makanya nanti kalau kau ingin menikah, pikir deh yang matang. Kalo sudah matang, diulang lagi mikirnya juga tidak apa-apa. Sampai mantap keyakinanmu kalau dia memang pilihanmu. Jangan sampai ada penyesalan nantinya." ujarnya pelan. Aku merapikan rambutku yang sedari tadi sudah main tarik tambang dengan angin.

"Maaf aku sudah menggali masa lalumu." ucapku. Dharma tersenyum. "Nggak masalah. Semua itu sudah tidak penting buatku. Sebelumnya juga kau tidak tahu. Kau baru hadir dihidupku sekarang. Eh... salah ya? Beberapa hari yang lalu maksudku." Ia mencoba bercanda lalu tertawa. Aku terhanyut mengikuti tawanya. Tawa yang ingin aku miliki selamanya...

"Kau dari tadi melihatku terus. Aku jadi takut." candanya lagi.

"Karena aku terpesona." Aku mencoba mengakui perasaanku. Dharma terperangah. Kali ini dia melihatku dengan tatapan yang berbeda. Ya ampuuun... sorotan matanya!

"Kau sendiri tidak punya pacar?" tanyanya agak penasaran.

"Pernah pacaran beberapa kali. Semua cowok yang pernah dekat denganku sayangnya hanya manis di bibir saja. Aku cuma mainan buat mereka. Entah apa yang mereka cari dariku." jawabku sambil menerawang. Dharma tidak merespon. Akhirnya kami sama-sama terbungkus dalam diam. Kulihat lautan pun malas bergerak untuk sekedar memecah keheningan yang ada.

*

Hari ini aku kembali ke Jakarta. Tinggal beberapa jam lagi aku harus menyeret langkahku ke bandara. Berat sekali kurasa karena aku tidak akan bertemu lagi dengan Dharma. Pukul duabelas lewat sedikit aku sudah menemuinya di kedai kopi. Saat itu lumayan ramai oleh turis-turis lokal sepertiku yang berhenti untuk makan siang. Dharma langsung menghampiri ketika ia melihat kedatanganku. Ia duduk di bangku di hadapanku. Wajahnya agak murung.

"Besok sudah tidak ada kau di kedai ini." ucapannya terdengar layu. Aku agak heran tapi hatiku berbunga-bunga. Ini berarti Dharma memperhatikan aku. Atau mungkin juga tertarik padaku. Ah, andaikan...

"Dari Jakarta ke Tanjung Pandan kan hanya empatpuluh lima menit naek pesawat. Aku pasti akan sering kemari, deh. Kalau kau memintaku..." godaku berharap Dharma akan mengiyakan. Perlahan rona wajah murungnya memudar. Ia lalu berdiri merapikan bangku yang ia pakai duduk tadi.

"Kau mau pesan apa? Kopi manis kayak kemarin?" tanyanya kemudian. Aku terpaku sejenak tersilaukan oleh tatapan matanya. 

"Aku mau pesan cintamu. Secangkir penuh hingga dapat mengaliri setiap sudut tubuhku. Aku ingin dialiri oleh cintamu hingga jiwaku menghangat dan merasakan manis kasih sayangmu." Aku menjawab perlahan tapi pasti. Dharma tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Mukanya memerah ingin menunduk tapi ingin juga melihatku. Aku tersenyum padanya meski jantungku sebenarnya berdisko tak karuan. Akhirnya Dharma membalikkan badannya beranjak menuju dapur kedai. Kuikuti terus gerak-geriknya. Dari dalam dapur, kulihat ia membuatkan kopi untukku sambil sesekali melihat ke arahku sembari tersenyum. Senyum yang bisa kupastikan akan menemani hari-hariku selamanya...

**

Paris, 13 September 2018

(Kau pasti tahu mengapa kau selalu menjadi inspirasiku...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun