Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gembira Belajar dan Prasyaratnya

5 Januari 2023   08:58 Diperbarui: 5 Januari 2023   09:21 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Generasi yang dibesarkan sampai akhir 1990-an mungkin tidak familier dengan frasa 'gembira belajar'. Bagi mereka, pembelajaran saat itu hanyalah sesuatu yang mesti dijalani sebagai rutinitas. Berada di kelas berarti menjalani proses pembelajaran yang membosankan, di lain waktu menegangkan, bahkan menyedihkan dan membuat  tertekan -terlebih ketika pelajaran begitu sulit dikuasai, sementara guru sudah siap menghukum dengan tamparan, pukulan dan kata-kata bernada amarah, membuat pelajar rasanya hendak minggat saja dari sekolah.

Akan tetapi semangat zaman rupanya telah jauh bergeser. Yang dimaksud dengan 'semangat' itu adalah sejenis psikologi kolektif umat manusia yang dipengaruhi banyak faktor, di antaranya adalah atmosfer di dunia pembelajaran. Yakni: ketika guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Anak-anak didik selaku pembelajar bisa mengakses sendiri ilmu pengetahuan itu - sementara guru hanya dibutuhkan sebagai fasilitator atau mitra.

Semangat zaman yang lebih condong pada penguasaan ilmu-ilmu non-agama membuat 'keramat' guru kian tersubordinasi oleh 'kuasa' murid dan orang tua murid yang merasa telah 'membayar' selaku konsumen. Mereka juga merasa berhak menuntut dan melawan bila layanan pendidikan dirasa mengecewakan. Paradigma pembelajaran pun beralih dari teacher centered  menjadi student centered.

Terlepas dari kontroversi itu, capaian pembelajaran dan kompetensi adalah hasil akhir yang diharapkan ada dan lekat pada diri pembelajar selaku output pendidikan. Pembelajaran yang menyenangkan tentu saja dianggap bakal muncul secara otomatis jika pilihan (opsi) proses pembelajaran diserahkan kepada murid itu sendiri. Murid belajar atas kehendak dan pilihan pribadinya sementara guru hanya menyediakan, menuntun dan membimbing tanpa terlalu banyak intervensi. Guru hanya menakar dan memastikan bahwa kompetensi yang hendak dicapai memang merupakan kebutuhan hakiki si murid untuk jenjang usianya.

Dalam outcomes based education (OBE) dari William G. Spady (1994) misalnya murid diasumsikan bisa belajar dan berhasil, tetapi tidak di hari yang sama dan tidak dengan cara yang serupa. OBE tidak berbasis waktu (times-based). Guru dan murid tidak boleh 'dikejar-kejar waktu penuntasan' sehingga di akhir masa pembelajaran level capaian kompetensi murid menjadi beragam.

Bertindak selaku penyedia opsi pembelajaran artinya sama dengan bertindak selaku fasilitator. Tentu saja, skenario ini bisa jadi 'mahal' dan guru terpaksa lebih banyak menguras pikiran guna merancang proses pembelajaran sedemikian rupa guna memuaskan berbagai gaya belajar, bakat, dan kecerdasan murid yang majemuk. Yang terpenting dalam rekayasa itu adalah kesesuaian antara tantangan yang diberikan dengan kemampuan merespon tantangan itu. Dengan memaksimalkan tantangan belajar yang sepadan dengan daya belajar murid, maka para murid diharapkan mencapai kondisi belajar yang 'flow'. Kondisi ini adalah kondisi puncak di mana murid merasa fokus dan gembira hingga larut dalam proses pembelajarannya.

Flow bukan satu-satunya kondisi mental yang disasar. Dengan mengandaikan keragaman intelegensi dan bakat bawaan murid, setidaknya murid merasa rileks dan memiliki sense of control atas pembelajaran yang dihadapinya. Dia tidak apatis, stres, kuatir, tertekan, tegang atau bosan --yang merupakan kondisi-kondisi mental yang membuat pembelajaran menjadi tidak berdaya dan berhasil guna.

Dengan demikian pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan gamifikasi, ice breaking, atau kegiatan bernyanyi yang diiringi tepuk tangan dan canda ria. Akan tetapi dalam bahasa peraturan pemerintah: pembelajaran itu dilaksanakan dalam suasana belajar yang interaktif, menginspirasi, menantang dan memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, perkembangan fisik serta psikologis murid (Pasal 9 butir 1 Permendikbudristek No.16/2022).

Guru lagi-lagi diwajibkan memiliki pengetahuan mendalam akan potensi yang khas dari masing-masing individu muridnya. Pada akhirnya jumlah murid harus dibatasi demi efektivitas.

Tantangan harus diturunkan untuk murid yang lemah agar dia merasa berdaya, mampu dan gembira belajar. Sedangkan untuk murid-murid yang lebih kuat tantangan belajar bisa ditinggikan agar lahir perasaan tertantang dan rasa mampu mengatasi tantangan itu sehingga menghasilkan kepuasan belajar. Dalam pada itu apresiasi sebagai bentuk support eksternal tidaklah terlarang diberikan. Sebaliknya, kritik sebaiknya dikurangi agar murid tidak mengalami demotivasi. Kritik diberikan selama sifatnya konstruktif atau diinginkan murid sebagai feedback.

Proses yang menyenangkan menghasilkan keterlibatan yang lebih penuh dan memperbesar kemungkinan tercapainya kompetensi. Belajar bukanlah ikhtiar 'sengsara membawa nikmat', melainkan nikmat demi nikmat yang menghantar pada kenikmatan akhir yang lebih besar. Kalau ada pihak yang agak sengsara mungkin adalah guru selaku fasilitator, karena perancangan metode dan model pembelajaran semuanya harus disusun oleh guru sebelum pembelajaran berlangsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun