Adakah yang lebih membahagiakan daripada kebermaknaan yang dijalani dengan sepenuh hati?
Pengabdian dalam arti yang setulus-tulusnya, dedikasi tanpa pamrih adalah semacam derajat spiritual juga. Seperti Gautama yang meninggalkan istana, atau Uwais Al-Qarni yang totalitas dalam berbakti kepada ibunda --seperti itulah kebahagiaan jenis lain dari yang umumnya diketahui orang.
Kebahagiaan di luar kecukupan makan dan minum, dari kemewahan arsitektur dan interior tempat tinggal, dari kenikmatan berpelesir dan melancong ke berbagai negeri, dari circle kalangan sosialita atau elite ternama, dan dari topik-topik kecil yang seketika membesar dan genting di mata media lantaran melibatkan nama kita.
Bunuh diri kelas, seperti disebut sejarawan JJ Rizal, adalah yang ditempuh para elite cendekiawan kita di masa pergerakan nasional. Mereka dipilih Pemerintah Kolonial untuk dididik menjadi tenaga bantu pemerintah Hindia Belanda, memanfaatkan status sosial mereka sebagai anak-anak priyayi. Akan tetapi setelah lulus, justru mereka memilih jalan berliku menuju cita-cita perjuangan yang belum pasti: Indonesia merdeka. Menulis, berbicara, berorganisasi, masuk keluar penjara, pindah dari satu pengasingan ke pengasingan yang lain, hidup seadanya, bahkan menunda menikah, untuk satu kata nan sakti itu: 'kemerdekaan'.
Demikian sakralnya kata itu, sangatlah didamba siapa pun juga yang sadar bahwa diri dan bangsanya sedang berada di bawah dominasi, eksploitasi, dan diskriminasi bangsa asing. Ngomong-ngomong, apakah mereka telah 'selesai' dengan diri mereka sendiri? Dari mana asal nafkah mereka, selama berjuang?
Seperti Anshar di Madinah yang menyambut Muhajirin dari Mekkah: tanpa kepentingan politik apa pun saat menyambut, membantu dan menyokong saudara mereka seiman.
Orang Anshar belumlah 'selesai' dengan diri mereka sendiri, banyak dari mereka yang mengalami kesempitan ekonomi, akan tetapi mereka mendahulukan kepentingan  saudara-saudara baru mereka yang justru lebih sengsara.
Di tahun pertama hijrah Nabi shallallahu alaihi wasallam itu tali persaudaraan dikelindankan: orang Anshar berbagi harta, tempat tinggal, berbagi pekerjaan, berbagi istri bahkan (bila istrinya lebih dari satu) sampai berbagi hak waris. Inilah solidaritas kemanusiaan yang tiada taranya dalam sejarah.
Allah menyebut bahwa 'siapa yang terbebas dari kebakhilan dirinya, mereka itulah orang-orang yang sukses.'
Ternyata definisi sukses justru terletak pada kemauan berbagi tanpa pamrih. Kebahagiaan terletak dalam kebermaknaan, bukan pada yang serba material.
Siapa saja yang mengejar kebermaknaan hendaknya berbagi dalam tiga hal: harta, ilmu dan bakti kepada orang tua. Tiga hal itulah yang akan berguna bagi anak Adam sesudah matinya: sedekah jariyah, ilmu yang diamalkan orang yang kita ajari dan doa anak saleh untuk kita selaku kedua orang tuanya.