Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Realitas yang Memaksa

31 Mei 2020   09:23 Diperbarui: 14 April 2022   22:22 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pexels Brett Jordan

'New Normal' adalah realitas yang memaksa (compelling reality). Dalam normalitas baru itu kenyataan yang serba menghimpit memaksa orang menyesuaikan diri. Normalitas baru ini adalah normalitas yang diberi tafsir baru: newly perceived normality. Sebagian orang bilang ‘new normal’ ini adalah abnormalitas yang dipasarkan lewat politik bahasa.

Negara tidak sanggup mengakomodasi rakyat dalam suatu ‘total lockdown’ sedangkan rakyat harus memilih antara bergerak dengan risiko terpapar virus atau berdiam diri di rumah bersama kejenuhan dan stagnasi ekonominya.

Dalam perbandingan dengan zaman Jepang (1942-1945) kakek nenek kita menyebut era Hindia Belanda (sebelum 1942) sebagai zaman normaal: era penuh ketenteraman dan keteraturan (rust en orde). Mereka mengenang ‘zaman normaal’ itu sebagai zaman yang tenang, tanpa perang, kelaparan dan kemiskinan.

Sementara elite pribumi bersama nasionalis keturunan Arab, Cina dan Eropa di zaman Hindia Belanda menerbitkan surat kabar dan buku-buku, mendirikan organisasi-organisasi, mengadakan konferensi, masuk Volksraad, bertengkar sesama orang pergerakan guna mengusahakan suatu ‘Indonesia Merdeka’—mayoritas massa pribumi yang bodoh waktu itu masih didominasi mitos, menyebut penjajahan bangsa kulit putih sebagai zaman yang nyaman, alias ‘zaman normaal.’

***

Kita berharap ‘new normal’ kali ini adalah pilihan rasional dari sekian banyak pilihan yang musykil. Oleh karenanya, alih-alih menutupi kenyataan dengan menyebut abnormalitas sebagai normalitas baru, lebih baik politik bahasa itu digunakan untuk mempropagandakan optimisme di zaman sulit.

Di saat terhimpit seperti sekarang kita butuh ‘power’ --meminjam judul buku Jaya Setiabudi ‘The Power of Kepepet’: terutama power dari Yang Maha Kuasa kemudian power berkat empowerment dari orang-orang kreatif. Orang-orang kreatif ini selalu bisa bertahan hidup dan mengajarkan ketangguhan kepada orang lain. Janganlah berharap kepada pemerintah karena pemerintah punya masalahnya sendiri.

Pada penghujung 2019 lalu diberitakan Presiden Joko Widodo merekrut kaum milenial yang diharapkan akan menghasilkan terobosan-terobosan baru di berbagai bidang. Akan tetapi gemanya kurang terdengar hingga paruh pertama 2020 ini. Justru yang diberitakan April 2020 adalah kasus-kasus yang mencemarkan nama baik staf khusus Presiden itu.

Realitas yang memaksa itu telah membuat kita beralih ‘hidup’ ke dunia maya. Anak-anak melangsungkan pembelajaran jarak jauh. Internet kini jauh lebih produktif dari sekedar sarana hiburan. Di dunia maya, orang-orang pada berjualan, berbelanja, ngobrol, mencari peluang kerja, mencari teman dan komunitas, mencari  jodoh. Digital marketing makin marak, perusahaan-perusahaan ekspedisi tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Para pegawai yang di-PHK kini menekuni kewiraswastaan. Pandemi benar-benar merupakan disrupsi bagi rutinitas dan kemapanan ekonomi mereka selama ini.

Sindrom zaman normaal kali ini tidak bisa disikapi sebagaimana zaman Jepang dahulu: memercayai ramalan Jayabaya, berharap bahwa kedatangan bangsa katai, berkulit kuning dan bermata sipit itu hanya berlangsung seumuran tanaman jagung, untuk kemudian tibalah masa kesejahteraan yang ditunggu-tunggu: masa kebahagiaan yang bersinar terang benderang.

Zaman normal era Orde Baru memang memanjakan kita dengan stabilitas semu. Kemudian kita bermimpi bahwa reformasi akan mengubah segalanya. Nyatanya reformasi gagal memenuhi harapan rakyat dan siklus cobaan kembali menerpa bangsa ini tanpa diduga-duga.

Realitas memaksa kita untuk belajar mensyukuri keberkahan dan kebaikan di balik kesusahan dan musibah akibat pandemi. Dengan kata lain, mensyukuri rahmat tersembunyi (blessing in disguise).

Inilah saatnya dibutuhkan kelenturan dan adaptasi pada suatu kebiasaan baru. Mau beralih dari pegawai menjadi pedagang. Dari dunia nyata ke dunia maya. Dari berharap bantuan pemerintah menjadi lebih tangguh dan mandiri. Dari verbalisme ke arah tindakan nyata. Dari egois dan mementingkan diri sendiri menjadi lebih peduli.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun