Mohon tunggu...
Dens Saputra
Dens Saputra Mohon Tunggu... Penulis - De

menulis adalah seni berbicara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebebasan

19 Februari 2023   17:13 Diperbarui: 19 Februari 2023   17:26 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan diartikan secara pendek oleh bahasa. Mungkin, revolusi bisa terjadi karena kebebasan direalisasikan oleh "kata". Bahasa mengalami evolusi dari tulisan di dinding goa, sampai pada berbagai macam buku yang laris di pasaran. Dari situ revolusi bisa terjadi. Perlawanan sosial dibunyikan. 

Bendera kecerdasan dikibarkan bergandeng teriakan benih - benih kebebasan. Nalar disusun dan kritik disampaikan untuk menjatuhkan kekuasaan. Kritik yang kristis dan penuh ringkik, akan membakar jubah kekuasaan. Kekuasaan serasa dirayu. Seperti seorang raja yang mabuk dan bercengkrama dengan seorang wanita penyihir. Kebebasan adalah penyihir itu. Sebagai penyihir, kekuasaan itu candu. Manusia --bukan hanya raja- juga memimpikan kekuasan dalam tidurnya. 

Kebebasan selalu dekat dengan kekuasaan. Itu terjadi jauh sebelum regulasi yang ketat menertibkan aspek hidup dalam negara. Tidak mengagetkan kalau kekuasaan itu memabukan. Manusia dan negara sebagai dikotomi dimana kekuasaan itu terus mengalir. Bergerak dari hulu ke hilir. Dari dialog tukang siomai sampai keputusan mentri. Kekuasaan indah bagai mawar saat moral menjadi pengemis. Sampai pada pertanyaan manusia tentang kekuasaan. Padahal kekuasaan adalah manusia itu sendiri. Moral memang abstrak. 

Tetapi kekuasaan adalah abstraksi dari mandeknya moralitas. Yang perlahan, tapi pasti melekat dalam wacana moralitas yang makin hari semakin mengental. Moral dijadikan logo kampanye. Padahal moralitas bisa juga memunculkan sitem hidup yang despotik. Tentang "hakim" yang mengetok palu pada setiap kekeliruan berpikir kritis. Merendahkan kepolosan kecerdasan dengan ketamakan moralitas. Kritik diceramahi dengan soal "baik" dan "buruk". 

Padahal hidup sosial adalah persoalan relativitas. Tidak ada ukuran yang independen untuk merumuskan kenyataan lapangan. Buku dan gagasan, atau idealisme hanya imajinasi yang selalu memelihara fenomena komponen masyarakat unik ini. Seperti kesayuan penyihir terhadap kekuasaan yang tak kunjung adil. Kekuasaan pula bergerak layaknya auraboros (peristiwa ular memakan kepalanya). Selalu begitu selama dikotomi sebagai manusia terus eksis. 

Melalui politik, kaidah -- kaidah lingkungan, perasaan cinta, dan apapun yang membekas dalam dialektika seorang manusia. Kekuasaan selalu berupaya menyelimuti kehangatannya pada manusia. Padahal semakin lama diselimuti, suhu kehangatan perlahan akan memanas.

Kekuasaan selalu terpancing oleh sikap kebebasan manusia yang tidak ingin kedaulatan mereka dikangkangi. Kekuasaan, dalam beberapa anggapan ditafsirkan selalu mendekati watak otoritarisme. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa di republik yang paling demokratis, kekuasaan berwajah otoriter hadir dalam bentuk yang semu. Tirani mayoritas adalah salah satunya. Kebebasan yang di impikan telah beradaptasi dengan lingkungannya. "kebebasan" harus menjadi kertas putih dengan berbagai narasi sosial. 

Maka tidak heran kalau kebebasan itu menjadi semacam despotisme, dimana kemarahan lebih unggul dari pada kecerdasan. Tindakan bersama atas ide kebebasan dituangkan dalam bentuk kuantitas. Dan akhir -- akhir ini, agaknya bukan lagi soal kuantitas tetapi pada kualitas tindakan model tirani. Semakin intens nalar tirani diproduksi, meskipun dengan kuantitas kecil, publik tetap akan melirik. Rumusan seperti ini sering terjadi dilingkaran kekuasaan. 

Kekuasaan sebagai bidang yang terus menerus melahirkan tirani. Otoritarisme juga. Dalam bentuk yang semu, halus, dan tidak disadari. Bahkan oleh manusia sendiri. Posisi ini sangat dipengaruhi oleh relasi kekuasaan untuk menyatakan kalau bentuk tirani bisa berjalan tanpa perlu angka -- angka. Kekerasan massa, saling hujat, main hakim sendiri, semakin maraknya produksi kebencian, keterbukaan media sosial adalah beberapa fenomena lahirnya tirani mayoritas. 

Fenomena ini diakumulasikan dalam bentuk kebijakan. Regulasi yang dikeluarkan negara selalu mengandung unsur "kuasa". Meskipun diciptakan oleh manusia -- manusia yang demokratis. Aturan -- aturan atau kebijakan adalah bentuk rasional untuk mengekang kecenderungan kebebasan yang semakin liar. Selalu ada unsur "menindas"susunan regulasi yang dikeluarkan. Itulah mengapa, dalam masyarakat bernegara, manusia adalah subyek sekaligus obyek.

Begitupun dengan kekuasaan yang menyeret subyektifitas dan obyetifitas manusia dalam cara berpikir "kuasa". Memang sedikit berbahaya jika tidak ada asumsi tertentu untuk mengadili kebebasan manusia. Anarkisme akan menjadi konklusinya. Apa bila kebebasan tidak lagi dikontrol. Kebijakan selalu mengandung juga unsur "peng-kontrol-an" dalam menata relativitas sosial yang ada di masyarakat. Proses interpretasi dan prediksi menjadi penting untuk melihat sudut pandang manusia dalam konteks masyarakat. Maka, kebijakan itu bisa berubah. Begitupun kekuasaan didalamnya bisa berubah. Tergantung pada realitas yang terjadi di kehidupan manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun