Mohon tunggu...
Denny Yapari
Denny Yapari Mohon Tunggu... -

Lulusan Sarjana Teknik Elektro (S.T.) dari Institut Teknologi Nasional Bandung, Sarjana Hukum (S.H.) Universitas Yos Soedarso Surabaya, dan Magister Ilmu Hukum (M.H.) Universitas Narotama Surabaya. Ahli Pengadaan Nasional dan Advokat/Konsultan Hukum yang berdomisili di Kota Sorong

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Investasi Kebun Emas di Bank Syariah, Bolehkah?

25 Januari 2012   02:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:29 5971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini sedang ramai pemberitaan tentang pembatasan gadai emas di bank syariah dan pelarangan investasi kebun emas oleh Bank Indonesia. Pemberitaan di vivanews pada tanggal 05 Januari 2012[1], memuat pernyataan Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia, Mulya Effendi Siregar, bahwa loan to value produk gadai emas tidak boleh lebih dari 80 persen dari plafon yang ditentukan. Hal itu bertujuan untuk menghindari adanya spekulasi dalam produk gadai emas. Demikian juga pemberitaan pada tanggal 20 Januari 2012[2] yang memuat pernyataan Direktur Perbankan Syariah BI Mulya Effendi Siregar di Gedung Bank Indonesia yang menyatakan bahwa berkebun emas di bank syariah mengandung unsur spekulasi sangat banyak, sehingga BI melarang investasi tersebut.

Disamping pemberitaan diatas, ada foto potongan koran harian nasional yang diunggah pada akun facebook[3] dan milis investasi emas di kaskus, yang berisi keluhan seorang pembaca karena mengalami kerugian yang mencapai Rp. 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah) sebagai biaya ujroh selama tiga bulan ketika berinvestasi produk kebun emas pada salah satu bank syariah. Beberapa waktu sebelumnya ada juga keluhan sejenis di milis diskusi investasi emas kaskus[4] dimana penulis sebagai anggota juga terlibat, apa jalan keluar akhir yang dipilihnya tidak ada kabar lanjutannya. Setelah membaca surat pembaca tersebut penulis tertarik untuk mengupas permasalahan tersebut dari sudut pandang ilmu hukum, karena bagi masyarakat awam berhubungan dengan bank seharusnya merupakan hubungan yang aman dan menguntungkan, bagaimana mungkin nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank untuk berinvestasi pada akhirnya mengalami kerugian yang sedemikian besar.

Yang lebih menarik lagi adalah bank yang menjadi ”tempat” untuk berinvestasi tersebut adalah bank syariah yang membawa slogan sebagai bank yang berasaskan hukum (Syariah) Islam, mungkinkah sistem syariah yang diterapkan pada bank syariah membuat nasabahnya menanggung kerugian? Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana perlindungan nasabah dalam perundang-undangan terkait dengan hadirnya perbankan syariah? Sebelum mengkaji lebih jauh penulis hendak membatasi bahwa dalam legal opinion ini penulis hanya menggunakan dasar hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saja, tidak mengupas lebih dalam berdasarkan Syariah Islam yang menurut penulis seharusnya disampaikan oleh orang yang berlatar belakang hukum Islam.

Gadai emas syariah adalah sistem pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah dengan menggunakan dasar hukum fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia baik sistem gadainya maupun emas sebagai barang gadainya. Undang Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mengatur secara material mengenai gadai emas syariah sebagai suatu kegiatan usaha perbankan syariah, hal ini cukup berbeda dengan kegiatan usaha yang lain dimana kriteria dan bentuknya dijelaskan dalam UU tersebut. Pasal 19 ayat 1 huruf q UU Perbankan Syariah secara formil mengatur bahwa perbankan syariah dapat melakukan kegiatan usaha syariah lainnya selama tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah (Pasal 1 Angka 12) dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan dasar itulah terbentuk Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang membuat suatu garis panduan produk syariahyang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio[5], panduan tersebut akan menjadi dasar hukum dalam pengawasan serta dasar hukum bagi pengembangan produk-produk lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah. Gadai emas yang ditawarkan oleh perbankan syariah adalah berdasarkan pada Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tentang RAHN dan Fatwa DSN MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang RAHN EMAS, yang menyatakan bahwa rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn. Jadi kalau disimpulkan dengan kalimat singkat gadai emas di perbankan syariah adalah suatu kegiatan usaha yang bersumber pada syariah Islam berdasarkan fatwa DSN MUI namun kegiatan usaha tersebut harus tunduk dalam payung hukum UU Perbankan syariah. Jadi gadai emas syariah tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam dan juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya UU Perbankan syariah.

Berdasarkan fatwa DSN MUI tentang rahn emas,prinsip dasar gadai emas syariah adalah prinsip gadai hanya saja dibatasi barang yang digadaikan adalah emas, dengan demikian akad yang akan digunakan adalah akad gadai. Dalam tesis hasil penelitian penulis[6] dalam praktek di perbankan syariah, akad/perjanjian yang digunakan dalam layanan gadai emas syariah umum ternyata masih mengandung klausul-klausul yang menyebabkan perjanjian tidak sah dan batal demi hukum. Namun demikian jika terjadi akad antara nasabah dengan perbankan syariah tidak ada potensi yang merugikan nasabah karena landasannya adalah bahwa nasabah menggadaikan barang miliknya untuk mendapatkan hutang, yang terjadi adalah hutang piutang dengan memberikan jaminan.

Keluhan yang disampaikan seorang pembaca dalam harian nasional diatas, mengungkapkan adanya investasi kebun emas[7] di perbankan syariah, pernyataan tersebut cukup mengherankan, adakah akad dan produk tersebut di perbankan syariah? Apa dasar hukumnya? Dari hasil kajian penulis terhadap UU Perbankan syariah tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan akad kebun emas, demikian pula dalam fatwa DSN MUI, tidak ada satu fatwa pun mengenai kebun emas, kemudian bagaimana investasi tersebut dapat terjadi di perbankan syariah? Ternyata investasi kebun emas memanfaatkan layanan gadai emas syariah. Hal ini berarti telah terjadi penyimpangan antara apa yang diakadkan dengan apa yang dipraktekkan. Invetasi kebun emas di perbankan syariah bukan lagi gadai emas syariah.

Dengan fakta seperti ini timbul pertanyaan selanjutnya, siapa saja pelaku yang menyebabkan terjadinya penyimpangan tersebut, apakah dilakukan nasabah sendiri, atau bank syariah juga turut campur mengajak nasabah untuk melakukan hal tersebut demi mendapatkan keuntungan biaya titip/sewa tempat akibat gadai tersebut.

Ada 2 (dua) kemungkinan yang dapat terjadi dalam praktek invetasi kebun emas, yaitu :


  1. Nasabah melakukan praktek kebun emas tanpa campur tangan bank syariah, dalam hal ini biasa dilakukan oleh spekulan yang telah pandai dan mengerti resikonya dan berani mengambil resiko, ketika praktek ini dilakukan bisa jadi bank syariah tidak mengetahui nasabah melakukan investasi kebun emas. Indikasi nasabah yang melakukan praktek seperti ini adalah :

    1. Emas yang digadaikan tidak sekaligus dalam jumlah besar. Seorang spekulan, sekalipun sangat pandai dalam bisnis yang mengandung spekulasi dan berprinsip high gain high risk tetapi tidak akan serta merta melakukan gadai dalam jumlah besar.
    2. Gadai yang dilakukan tidak dalam satu hari, karena perlu waktu untuk nasabah tersebut membeli emas dengan hasil uang gadai sebelumnya, sehingga dia harus bolak-balik dari toko penjual ke bank syariah, karena dia yang mengakali praktek gadai, maka asumsinya adalah penjual emas tidak dalam satu tempat dengan bank syariah.
    3. Total investasi kebun emasnya terdiri dari beberapa akad yang berbeda waktunya sebagai akibat dia sendiri yaang harus melakukan pembelian di toko penjual dan menggadaikan kembali emas tersebut.

Disini semua resiko adalah tanggung jawab nasabah, bank syariah bisa saja mengindikasikan bahwa nasabah melakukan investasi kebun emas tetapi perlu pembuktian dan hal tersebut bukanlah hal yang dilarang. Apakah cara ini mengandung resiko kerugian bagi nasabah? jawabannya iya dan berpotensi besar merugikan nasabah[8], tetapi kerugian ini bukan disebabkan oleh orang lain, dalam hal ini bank syariah, atau dengan kata lain tidak ada perbuatan yang dilakukan oleh bank syariah yang menyebabkan nasabah mengalami kerugian. Semua akibat dari perbuatan nasabah sendiri.


  1. Nasabah melakukan praktek kebun emas dengan campur tangan bank syariah, dalam hal ini ada peran bank syariah, dimulai dari mengajak (ada iklannya walaupun dalam bentuk terselubung), menyiapkan toko rekanan (yang bersedia membawa emas jualannya ke lokasi bank, sangat tidak mungkin toko emas berani melakukan hal ini tanpa ada kepercayaan dan kesepakatan antara toko dan bank syariah), hingga membantu nasabah untuk melaksanakan investasi kebun emas tentu saja dalam 1 (satu) akad. Indikasi nasabah yang melakukan praktek ini adalah:

    1. Nasabah meyakini bahwa investasi kebun emas adalah salah satu produk usaha dari perbankan syariah, karena semua informasi dan prakteknya dilakukan di bank syariah.
    2. Emas yang digadaikan sekaligus dalam jumlah besar dan dalam satu akad. Umumnya nasabah tergiur dengan keuntungan yang akan diperoleh dengan kenaikan harga emas dalam waktu yang sangat cepat, tidak lagi berpikir secara benar dan logis bahwa investasi seperti ini berpotensi merugikan.
    3. Emas gadai yang benar-benar milik nasabah nilainya sangat kecil, mencapai 10% dari total emas yang digadaikan, sisanya adalah hasil hutang yang kemudian tergadai lagi.
    4. Gadai yang dalam jumlah besar tersebut dilakukan dalam satu hari, karena untuk membeli emas lainnya, nasabah tidak perlu repot mencari diluar, telah ada toko rekanan bank yang bersedia membawa emas tersebut ke lokasi bank syariah, disini muncul pihak lain dalam praktek tetapi tidak dimasukkan dalam akad.

Dalam praktek ini penulis berpendapat bahwa resiko bukan lagi tanggung jawab nasabah sendiri, sudah ada peran bank syariah yang terlibat dalam potensi resiko nasabah, sehingga ketika nasabah mengalami kerugian, dapat dikatakan kerugian tersebut juga disebabkan karena adanya campur tangan bank syariah. Padahal dalam akad gadai emas syariah tidak ada akad saling berbagi resiko dan berbagi keuntungan, sehingga ketika nasabah mengalami kerugian, bank syariah tidak mau tahu dan tetap menuntut biaya sewa/titip. Disini penyebab utama kerugian nasabah bukanlah bank syariah tetapi harga emas yang fluktuatif, status bank syariah adalah sebagai pihak yang memberikan fasilitas kepada nasabah untuk melakukan investasi yang mempunyai resiko tinggi. Padahal bank syariah tidak seharusnya melakukan hal tersebut.

Dari uraian diatas dapat dilihat kemungkinan yang terjadi oleh salah satu pembaca di harian kompas adalah kemungkinan kedua, yaitu nasabah melakukan praktek investasi kebun emas dengan adanya campur tangan pihak bank syariah. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan nasabah yang mengalami kerugian akibat praktek seperti ini, apakah dapat terjadi sengketa antara nasabah dan perbankan syariah? dan bagaimana perlindungan terhadap nasabah bank syariah yang seperti ini secara hukum.

Payung hukum bagi usaha perbankan syariah adalah UU Perbankan syariah namun demikian sebagai suatu badan usaha bank syariah tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan lain sebagaimana perjanjian yang terjadi di bank syariah sendiri merupakan bagian dari hukum perdata Indonesia. Dengan demikian kita dapat melihat peraturan perundang-undangan lain secara hukum terhadap kedudukan perbankan syariah ketika terjadi kerugian pada nasabahnya termasuk dampak hukumnya sebagai akibat hubungan hukum yang terjadi, berikut adalah hasil kajian penulis :


  1. Praktek gadai emas syariah yang terjadi telah menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam fatwa DSN MUI, adapun penyimpangan tersebut adalah :

    1. Investasi kebun emas tidak ada dasar hukumnya dan prakteknya tidak sama dengan gadai/rahn, padahal kegiatan usaha perbankan syariah harus berdasarkan hukum yaitu sebagaimana yang diatur dalam UU Perbankan Syariah dan/atau yang diatur dalam fatwa DSN MUI.
    2. Total jumlah emas yang digadaikan bukan sepenuhnya milik nasabah, sehingga tidak sesuai dengan syarat gadai berdasarkan menurut fatwa DSN MUI, jadi investasi kebun emas bukanlah gadai emas.
    3. Ada pihak lain yang terlibat, yaitu toko emas rekanan bank syariah, padahal akad dalam gadai hanya terjadi pada pemberi gadai dan penerima gadai.

Dengan demikian dapat dikatakan bank syariah telah melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan Prinsip Syariah (Pasal 2 UU Perbankan Syariah), yaitu transaksi yang mengandung unsur haram, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 sebagai berikut :

Pasal 2

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.

Penjelasan Pasal 2

Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:

a.riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);

b.maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

c.gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

d.haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau

e.zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.


  1. Tidak ada transparansi mengenai praktek investasi kebun emas yang diperoleh nasabah dari bank ketika berinvestasi kebun emas, padahal nasabah yang melakukan investasi ini hanya tergiur dengan keuntungan tanpa memperhatikan kemungkinan resiko yang terjadi, hal ini bertentangan Pasal 4 huruf (c), huruf (f), huruf (g) dan huruf (i) Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

Pasal 4

Hak konsumen adalah :

c.hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi  dan jaminan barang dan/atau jasa;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g.hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak  diskriminatif;

i.hak­hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­undangan  lainnya.

Disamping itu bank syariah juga sudah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 7 huruf (a), huruf (b) dan huruf (c) serta Pasal 8 ayat (1) huruf (a) Undang Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a.beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b.memberikan  informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan  jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,  perbaikan dan  pemeliharaan;

c.memperlakukan atau melayani konsumen secara  benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Pasal 8

(1)Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a.tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang  dipersyaratkan dan ketentuan  peraturan perundang­undangan;

Bahkan dalam Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ayat (1) dilarang untuk memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut dan wajib menariknya dari peredaran.

Dari uraian pembahasan pelanggaran hukum yang terjadi maka dampak hukum atas pelanggaran tersebut adalah :

1.Pelanggaran Prinsip Syariah yang dilakukan oleh Bank Syariah dapat dikenakan sanksi administratif dari Bank Indonesia berdasarkan pasal 56 UU Perbankan Syariah, yaitu :

Pasal 56

Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

2.Pelanggaran Prinsip Syariah juga dapat mengakibatkan Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai Bank Syariah dipidana dengan pidana penjara dan denda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (2) huruf (b) UU Perbankan Syariah, yaitu:

Pasal 63

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:

b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

3.Bahkan jika Pihak Terafiliasi Bank Syariah dan Pemegang Saham turut serta dalam penyimpangan yang terjadi, dapat dikenakan pidana dan denda berdasarkan Pasal 64 dan Pasal 65 UU Perbankan Syariah, yaitu :

Pasal 64

Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 65

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

4.Pelanggaran Pasal 4 dan Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen yang dilakukan oleh Bank Syariah sebagai pelaku usaha dapat dilakukan gugatan tuntutan ganti rugi karena telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

5.Pelanggaran Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen yang dilakukan oleh Bank Syariah sebagai pelaku usaha dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen.

Pasal 62

(1)Pelaku usaha yang melanggar ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2),  Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)  huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan  pidana  penjara  paling  lama  5  (lima) tahun  atau  pidana denda paling  banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Dari uraian dampak hukum yang terjadi maka nasabah yang dirugikan dapat memilih opsi penyelesaian sengketa atas kerugian yang dideritanya. Jika menyangkut pidana dapat melaporkan ke polisi atau kejaksaan, jika menyangkut perdata, maka berdasarkan Penjelasan Pasal 55 UU Perbankan Syariah dapat dipilih dengan cara musyawarah dan mediasi atau menyelesaikan dengan jalur litigasi, bisa dipilih gugatan melalui pengadilan agama dan/atau gugatan melalui pengadilan negeri[9]. Penulis sengaja menguraikan pelanggaran yang terjadi dengan menggunakan perundang-undangan yang lain disamping UU Perbankan syariah mengingat bahwa walaupun perjanjian gadai syariah ini diatur dalam UU perbankan Syariah, dimana berlaku asas preferensi hukum lex specialis derogat legi generali, tetapi Penjelasan Pasal 55 UU Perbankan Syariah memberikan opsipenyelesaian sengketa melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

[1]Nur Farida Ahniar, Nina Rahayu, BI Segera Batasi Gadai Emas Bank Syariah, http://bisnis.vivanews.com/news/read/277673-bi-batasi-gadai-emas-bank-syariah-akhir-bulan, diakses tanggal 22 Januari 2012

[2]Hadi Suprapto, Nina Rahayu, BI Larang Berkebun Emas, http://bisnis.vivanews.com/news/read/ 281818-bi-tegas-larang-berkebun-emas, diakses tanggal 22 Januari 2012

[3]Akun Facebook Kebun Emas Gratis, http://id-id.facebook.com/pages/Kebun-Emas-Gratis/178887955521093#!/photo.php?fbid=238309096245645&set=a.215157218560833.51884.178887955521093&type=1&theater, diakses tanggal 22 Januari 2012 http://www.kaskus.us/showpost.php?p=593596627&postcount=4310

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun