Masih susah kirim foto di Whatsapp?Â
media mainstream.
Mungkin Anda salah satu pengguna telepon pintar yang terkena dampak pemblokiran dan pembatasan sosmed oleh pemerintah. Nah, katanya, pembatasan dan pemblokiran sosmed ini untuk mengurangi hoaks. Namun sebenarnya ada hal lain yang membuat sosmed dan hoaks ini merajalela, yakni ketidakpercayaan publik pada berita diSeperti diberitakan di laman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), www.kpi.go.id (23/5/2019), hasil Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Panel Ahli di Medan menyimpulkan bahwa program berita di televisi masih sangat terlihat adanya kecenderungan afiliasi pada pilihan politik pemiliknya.Â
Hal tersebut dianggap membuat pemberitaan di televisi hanya mempertajam polarisasi dan segmentasi masyarakat. Itulah swbagian dari catatan para panelis ahli dalam Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi saat membahas program siaran berita.
Syukurlah ternyata pada akademisi kita, abang-abang dan kakak-kakak senior saya di Fisip USU Medan masih memiliki kejujuran dalam menganalisis masalah. Persoalan ini seharusnya sudah diketahui KPI sejak lama, namun mungkin harus ada masukan dari para akademisi dulu baru sah.
Saat ini, stasiun televisi memang mayoritas adalah media pendukung pemerintah. Sosiolog USU, Muba Simanihuruk menyatakan, ia melihat adanya kecenderungan pemberitaan di televisi terlihat seragam.Â
Ia juga melihat adanya kecenderungan televisi melakukan kapitalisasi polarisasi masing-masing kubu, yang disebabkan adanya koalisi dari pemilik televisi dan pimpinan partai politik.
Nah, untuk yang satu ini memang sudah tidak bisa dipungkiri. Nyata di depan mata.
Televisi memang sulit menghindar dari keberpihakan. Namun kata Muba, basic true harus jelas disampaikan. Masih menurut Muba, tak heran kalau kemudian banyak yang merasa bahwa televisi menyajikan kebohongan secara telanjang pada publik.Â
Jika dibandingkan dengan kondisi politik Indonesia saat ini, apa yang disampaikan akademisi di Fisip USU memang terjadi. Saat pemirsa merasa program berita tidak menyajikan informasi yang sebenarnya, maka langkah lain yang mereka lakukan adalah mencari informasi lewat saluran lain. Maka sosmed lah alternatifnya. Masalahnya, sosmed tidak punya filter untuk berita-berita bohong alias hoaks.
Pemerintah serta merta menyalahkan hoaks dan sosmed sebagai penyebab adanya kebencian di mata publik. Padahal sosmed dan hoaks itu bukanlah penyebab utama. Penyebab utamanya adalah karena media mainstream tidak dipercaya lagi mampu memberikan kebenaran.