Mohon tunggu...
Laurensius Mahardika
Laurensius Mahardika Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Psychology

Penulis karbitan yang menyukai teknologi, musik dan sepakbola. Email: dennysantos038@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kan Mereka Duluan yang Mulai!

7 September 2019   20:15 Diperbarui: 9 September 2019   17:53 2313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi suporter Timnas Indonesia yang memasuki lapangan pada ajang kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Suporter Timnas Indonesia sempat masuk ke lapangan dan berbuat ricuh pada pertandingan yang dimenangkan Malaysia dengan skor 2-3. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

"Pak, si Benny yang duluan ngejek gue"

"Tapi si Dono duluan pak yang mukul gue!"

"Lu-nya duluan ngejek gue gendut, brarti lu yang salah!"

"Tapi lu jangan mukul juga woy!"

Mungkin kalian pernah mengalami situasi seperti Benny dan Dono pada masa kecil kalian. Keduanya saling tunjuk hidung lawan untuk membuktikan siapa yang salah. Itulah yang terjadi pada suporter Indonesia saat terjadi kerusuhan Kamis (5/09/2019) kemarin.

Pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2022 antara Indonesia melawan Malaysia berakhir dengan kemenangan Malaysia 2-3 di stadion GBK. Gol telat dari Mohamadou Sumareh pada menit 90+7' membuyarkan Indonesia untuk meraih poin di laga perdana.

Ekspektasi besar dari suporter Indonesia menghasilkan konsekuensi yang besar pula, yaitu kekecewaan. Setelah Syafiq Ahmad menyamakan kedudukan untuk Malaysia menjadi 2-2 pada menit ke-66, fans mulai ricuh. Pada menit ke-72, sumbu amarah mulai sulut dan hal tersebut berlanjut hingga luar stadion.

Sila ketiga mulai ditegakkan. Persatuan Indonesia mulai diimplementasikan dalam bentuk nyata. Dengan alasan membela negara, jiwa nasionalisme mereka dimunculkan dengan baku-hantam berembel-embel keadilan. 

Hal tersebut juga tidak lepas dari beberapa klaim yang ditujukan bagi suporter Harimau Malaya sebagai biang keladi kerusuhan, di luar performa timnas. Mulai dari perusakan fasilitas stadion hingga chant berbau rasisme pada saat pertandingan menjadi pematik kemarahan fans tuan rumah.

Performa buruk dari timnas saja sudah menimbulkan "api" bagi para fans. Apalagi kelakuan fans Malaysia yang seakan-akan menyiramkan minyak tanah untuk membuat api semakin besar. Sayang, fans Indonesia lebih memilih membakar habis sisi humanisme dan rasionalisme mereka daripada memadamkan api kemarahan tersebut.

Bagi saya sebagai penonton layar kaca sejati, jelas saya tidak bisa merasakan panasnya atmosfer di stadion tersebut. Namun, saya hanya ada satu frasa yang saya ketahui untuk kejadian ini: sudah biasa. Sudah biasa kalah, sudah biasa rusuh.

Saya masih bisa melihat bahwa menonton sepakbola bisa membuat orang dewasa yang bijak menjadi anak kecil pemberontak. Regresi tersebut ditunjukkan dengan menunjuk orang lain sebagai kambing hitam, bersumbu pendek, serta rasionalitas yang diprioritaskan paling akhir.

Disini saya bukan menyalahkan ataupun menjelek-jelekkan suporter kita. Saya cuma ingin mengajak bahwa dengan menelan pil "nasionalisme", bukan berarti kita bertindak seenak udel sendiri walaupun tujuannya untuk negara.

Mulailah Tunjuk Hidung Sendiri
Kita mungkin perlu belajar dari Inggris soal bagaimana cara merubah mental suporter mereka. Pada tahun 1980-an, Inggris dikenal dengan sebagai lumbungnya para hooligans beringas.

Salah satunya adalah fans Liverpool dengan Tragedi Heysel-nya yang meskipun menjadi sejarah kelam, tetapi menjadi sebuah revolusi bagi para suporter Inggris.

Tragedi Heysel ini bisa dibilang sepuluh kali lebih kejam daripada kejadian senin kemarin. Tidak tanggung-tanggung, ada 39 nyawa yang melayang dalam kejadian itu yang sebagian besarnya adalah fans Juventus.

Kejadian tersebut berlangsung sekitar satu jam sebelum pertandingan. Bermula dari para Juventini yang memprovokasi para Kopites di luar lapangan stadion. Para Kopites yang tidak terima membalas provokasi tersebut secara lebih brutal sehingga beberapa Juventini kehilangan nyawa temannya.

Walaupun ada faktor lain yang menyebabkan terjadinya kisruh tersebut, Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher lebih memilih untuk menyalahkan sepenuhnya pada suporter.

Tidak hanya Liverpool saja yang disalahkan, tetapi satu persepakbolaan Inggris juga kena getahnya. Akhirnya, FIFA menghukum Inggris dengan melarang semua klub Inggris tampil di seluruh dunia selama 5 tahun (6 tahun untuk Liverpool).

Baca: Bagaimana Inggris Merubah Tragedi Heysel dari Duka menjadi Laba?

Setelah kejadian memilukan tersebut, Federasi Sepak Bola Inggris (FA) melakukan langkah cukup dibilang gila. FA mencoba untuk menghilangkan pagar-pagar pembatas yang biasa ada dalam stadion di Inggris.

Pagar pembatas tersebut disinyalir menjadi penghambar para suporter dalam mengekspresikan aksi mereka dalam mendukung tim, sehingga mereka lebih memilih kisruh. Dan benar saja, 20 tahun mendatang, Inggris telah memiliki liga terbaik dengan suporter terbaik pula hingga saat ini.

 Baca: Pengaruh Tragedi Heysel pada Proses Pendewasaan Suporter Inggris

Kita memang tidak bisa serta merta menyamakan situasi Indonesia dengan Inggris. Namun apa yang bisa kita pelajari adalah: Inggris berani menunjuk diri sendiri. Mereka mengaku salah dan mereka memperbaiki kesalahan tersebut.

Saya berharap persepakbolaan kita bisa juga menunjuk diri sendiri agar lebih fokus pada solusi, bukan caci-maki. Hal tersebut juga berlaku untuk suporter kita.

Bagi saya, suporter Indonesia tetaplah yang terbaik dalam urusan mendukung timnas. Namun yang perlu diingat adalah kita harus realistis dan rasional dalam mendukung tim kita.

Soekarno pernah mengatakan, "Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau jatuh di antara bintang-bintang". Jadi tetaplah dukunglah timnas-mu agar Garuda kita dapat terbang setinggi langit.

NB: Itu hanyalah perumpamaan, yes. Ekpektasi setinggi langit juga harus dibarengi dengan pengembangan pula yang jadi bintang-bintang penopangnya. Ealah, dasar rambut kribo David Luiz!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun