Ruang pengadilan Gedung Landard, Bandung, 22 Desember 1930. Seorang pemuda berumur 29 tahun diadili atas apa yang didakwakan padanya oleh rezim kolonial, mendirikan dan memimpin partai nasional yang menghasut serta mengajak orang-orang pribumi untuk memberontak dan melawan.
Di depan sidang pengadilan dan para hakim yang segera akan menjatuhkan vonis pada dirinya, juga pada beberapa temannya, suara pemuda itu jauh dari sikap menyiratkan rasa takut, lebih lagi memelas. Sebaliknya, suara dan sikapnya penuh tenaga dan harga diri. Seakan-akan ia tengah menjelmakan dirinya sebagai sesuatu kekuatan tak terduga yang muncul dari balik kemalangan seluruh bangsanya. Oleh karena itulah, teks pembelaan yang dibacakannya itu dipenuhi semangat yang memprovokasi, menggugat seluruh kenyataan yang terjadi pada bangsanya di bawah eksploitasi kolonialisme dan imprealisme.
Ia, pemuda itu, Soekarno, berdiri di tengah ruang sidang bukan untuk sekedar menolak gugatan yang dikenakan padanya. Melainkan berdiri untuk menggugat rezim kolonialisme dan imprealisme yang mendakwanya sebagai penghasut. Ia menggugat atas nama seluruh realitas bangsanya yang telah diberlakukkan tak lebih dari sekedar buruh. Ia menggugat atas nama tanah airnya yang terus dikeruk bagi kepentingan-kepentingan ekonomi segelintir golongan. Disebutnya juga disitu hak bangsanya untuk memberontak dan melawan. Juga revolusi dan kemerdekaan.
***
Kita tunggu kehadiran Soekarno-Soekarno Muda dalam pergerakan sejarah negara-bangsa menuju adil-sejahtera. Mereka, yang menjadikan Soekarno sebagai inspirasi budaya, politik, pemikiran, bahkan panutan, menghadapi penjajahan yang berbeda. Penjajahan atas hukum dan keadilan, penjajahan atas hak-hak minoritas, penjajahan atas hak-hak si miskin dan mereka yang terpinggirkan, dan penjajahan atas kebebasan itu sendiri.
Untuk membuktikan bahwa sejarah bukanlah sekedar ruang masa lalu yang mesti dilainkan dari realitas hari ini. Ketika itu terbukti, menjadi jelaslah bahwa bangsa ini tak pernah beranjak dari nasibnya di masa lalu.
Tabik,