Mohon tunggu...
Stefanus Hari
Stefanus Hari Mohon Tunggu... -

Ada yg bilang Indonesia tidak dijajah ratusan tahun, karena VOC itu perusahaan bukan negara. hehehe perusahaan kok punya tentara? Sudah proklamasipun masih di agresi 2x. Saat inipun diagresi, mau tahu? follow me

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koalisi Berbasis Platform

18 Maret 2018   09:46 Diperbarui: 18 Maret 2018   10:07 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini koalisi elit partai seringkali mengabaikan platform partai dan tidak sejalan dengan kecenderungan di akar rumput. Kecenderungan sikap pragmatis elit partai untuk mengejar jabatan seringkali mengkianati amanah konstituennya. Hal ini bisa terjadi karena banyak elit partai yang sudah tercabut dari akar rumputnya. Mereka berpolitik seolah untuk mengejar ambisi pribadi dan melupakan suara akar rumput. Mungkin mereka terlalu lama menikmati fasilitas sebagai elit partai dengan segala kemewahannya sehingga lupa, bahwa mereka dulu diantaranya pernah tinggal di kampung, mempunyai nafas dan cita cita sebagai orang kampung yang ingin orang - orang di kampungnya maju.

Sebagai contoh adalah pasangan Ahok Jarot yang di usung oleh Golkar, PDIP, Nasdem, Hanura dan PPP. Praktis suara PPP hanya gerbong kosong. Karena jika dijumlah menurut suara di dewan mereka mayoritas. Tetapi fakta menunjukkan Ahok Jarot kalah dengan selisih yang sangat besar.

Memang benar, dalam pemilihan kepala daerah dan presiden mereka memilih figur, bukan partai politik. Tetapi hal itu tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan platform partai, partai partai politik di Indonesia di bagi menjadi Islamis dan Nasionalis. Nasionalis masih di bagi menjadi Nasionalis Religius, Pure Nasionalis dan Nasionalis ke kiri kirian. Jadi swing voter terbesar justru berada pada partai nasionalis. Tidak heran walaupun Golkar dan PDIP bergabung, suara akar rumput Golkar tidak sepenuhnya nyaman berada satu koalisi dengan PDIP.

Anomali terjadi pada PPP yang memilih bergabung dengan koalisi Ahok Jarot. Jelas akar rumput mereka seperti komunitas Haji Lunglung tidak akan nyaman berada pada koalisi tersebut, tetapi elit partainya ngotot dan seolah tutup mata dan telinga suara konstituen.

Saat ini, elit partai PPP kembali membuat pertaruhan yang luar biasa pada masa depan partainya. PPP adalah partai islam tertua d Indonesia, basis mereka secara tradisonal dan historis jelas, tetapi dengan masuk ke dalam gerbong koalisi Jokowi di pilpres 2019. partai ini terancam tidak akan mendapat suara yang cukup untuk mendapat kursi di parlemen. Secara psikologis sulit seorang memilih legislatif atas dasar platform islam, kemudian. memilih presiden dari PDIP yang banyak dianggap berseberangan secara platform.

Tidak bisa dipungkiri, saat ini pertarungan adalah cenderung ke Islam melawan Nasionalis yang cenderung ke kriri - kirian. Baca saja apa yang terjadi di media sosial atau acara - acara televisi. Polarisasi itu makin lama makin besar dan ada kecenderungan menjadi brutal. Aksi saling lapor dan isu tebang pilih membuat masyarakat terbelah menjadi Hitam Putih. Sedikit sekali wilayah abu - abu atau swing voter.

Keadaan ini tentu saja menguntungkan koalisi Prabowo yang banyak didukung partai berbasis Islam dan Nasionalis religus (Islam). Potensi Koalisi Prabowo untuk menang makin besar jika bisa menarik simpati lebih banyak pada Islam moderate yang ada di Golkar dan Demokrat. Dengan demikian praktis suara Jokowi akan terkunci pada PDIP dan Nasdem saja. Intinya adalah menjaga momentum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun