Mohon tunggu...
Deni Toruan
Deni Toruan Mohon Tunggu... Guru - Pendukung Timnas Belanda

Pendukung Timnas Belanda

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media di Indonesia Jangan Jadi Pemadam Kebakaran

21 Mei 2017   05:32 Diperbarui: 21 Mei 2017   06:39 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Satu hal yg menarik perhatian saya ketika membaca surat kabar disini adalah ketika pendapatan para pejabat negara sering dimuat secara terang benderang, ditulis di berita,  walaupun kadang-kadang tidak berhubungan langsung dengan topik beritanya.

Di suatu berita pernah ditulis, "Sadiq Khan, Walikota London itu memperoleh gaji sekitar £140ribu per tahun". Di suatu berita lain, ketika bercerita tentang kepala kepolisian Metro yg baru, dituliskan, "Ms Cressida Dick akan ditunjuk sebagai Kepala Kepolisian Metropolitan, kekuatan kepolisian terbesar di UK dan dengan jabatan itu dia akan dibayar sebesar £270ribu per tahun".

Saya juga pernah baca terkait Perdana Menteri May, yg disebut memperoleh gaji sebesar £144ribu, yg mana £75ribu berasal dari gaji sebagai anggota parlemen. Ketika memberitakan pandangan Ketua Partai Buruh terkait isu Brexit, di surat kabar itu dituliskan, "Mr Jeremy Corbyn, Ketua Partai Buruh itu mendapat tambahan penghasilan sekitar £30ribu dari jabatannya sebagai ketua partai oposisi". Sebagai gambaran, gaji supir bis di London yang baru disepakati adalah: £23ribu per tahun.

Di satu sisi dapat dikatakan bahwa cara penulisan gaji para pejabat negara di surat kabar itu terlalu vulgar. Terlalu matre. Membawa-bawa urusan dapur orang ke publik, dan itu dilakukan berulang-ulang.

Namun di sisi lain, kalau dimanai lebih jauh, saya lihat metoda pemberitaan ini bagus juga. Jauh lebih banyak manfaatnya, khususnya untuk masyarakat banyak.

Untuk para pejabat, pemberitaan surat kabar yang berulang-ulang ini dapat dimaksudkan untuk mengingatkan mereka bahwa gaji mereka sebesar nilai tertentu itu diperoleh dari uang pajak masyarakat. Karena digaji oleh negara melalui uang masyarakat, maka perlu selalu diingat bahwa setiap pejabat negara adalah pelayan masyarakat. Abdi masyarakat, bukan penguasa masyarakat. Semua rencana, pelaksanaan dan evaluasi kerjanya harus diarahkan untuk masyarakat, bukan untuk pribadi atau golongannya.

Karena nilai pendapatannya sudah jelas, yang nota bene dapat dibandingkan dengan nilai gaji para pekerja lain yang bukan pejabat negara, maka pengungkapan gaji ini juga dapat dimaknai agar para pejabat negara jangan bermacam-macam. Jangan neko-neko dengan anggaran dan jangan coba suap-menyuap. Kalau seorang pejabat negara bergaya hidup mewah atau terkesan "royal" dalam berbagi, berarti dengan mudah akan dapat ditelusuri dari mana sumber dananya. Apakah sumber dananya itu diperoleh dari sumber yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau dari sumber yang benar, apakah sudah dikenai pajak atau belum. 

Untuk masyarakat banyak, pengungkapan gaji para pejabat ini tentu sangat positif. Dengan terang benderang, masyarakat jadi tahu kemana saja dana yang mereka bayarkan melalui pajak setiap bulannya. Mereka jadi tahu bahwa mereka berhak menuntut dari para pelayannya.

Masyarakat juga bisa menjadi lebih kritis kepada para pejabat negara untuk setiap pola, tingkah laku, pekerjaan dan sikap mereka di depan publik. Masyarakat akan kritis ketika seorang pejabat negara diberitakan tinggal di perumahan mewah, ketika seorang pejabat negara baru beli mobil mewah, ketika si pejabat pergi liburan mewah bersama keluarga. Tak hanya itu, masyarakat juga akan lebih kritis ketika si pejabat negara membuat pesta dan mengundang banyak orang. Pertanyaan penting yang akan disampaikan adalah, "dari mana sumber dananya, apakah dapat dipertanggungjawabkan atau tidak?"

Dengan model pemberitaan seperti ini, maka surat kabar dan masyarakat memang akan terkesan kepo. Ingin tahu aja urusan orang dan urusan dapur orang. Tapi kalau dipikirkan lebih jauh, ini merupakan salah satu sistem kontrol sosial yang sangat efektif bagi para pejabat negara. Agar mereka para pejabat negara itu selalu berhati-hati untuk berpikir, berencana, membuat kegiatan dan melakukan evaluasi. Agar mereka berpikir 10 kali untuk mengadakan rapat-rapat yang ditujukan untuk menggerogoti dana masyarakat. Agar mereka berpikir 15kali membuat kebijakan yang hanya menguntungkan sebagian pihak saja, termasuk keuntungan untuk pribadi dan golongannya.

Saya jadi berpikir, kalau saja dari dulu-dulu sikap kritis ini dilakukan secara terus menerus oleh surat kabar, tivi, media online dan masyarakat kita di Indonesia, mungkin kita tak akan mendengarkan kasus Hambalang dan kasus E-KTP yang lagi panas akhir-akhir ini. Tidak perlu kita seperti saat ini, terhenyak, serasa disambar petir, keheranan dan merasa dibohongi dan dipermainkan oleh sebagian pejabat negara itu. Mungkin selama ini surat kabar kita, tivi kita dan masyarakat kita terlalu "cuek", dan membiarkan sekelompok para pejabat negara itu berpesta pora dan membagi-bagi "kue" jarahan. Dan setelah kue jarahan dibagi-bagi, media-media kita datang mengumbar cerita seolah-olah berperan sebagai pemadam kebakaran.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun