Catatan harian ini kutulis sebagai sharing pengalaman.Â
Yogyakarta-12 November 2016, selesai menemani anak-anak live in di daerah Sumber, kami sempatkan untuk sejenak melepas kepenatan dengan mengunjungi Yogyakarta. Tak ketinggalan tentu, sembari mendendangkan lagu Kla "Yogyakarta", memoriku kembali ke sekian tahun lalu. Yogyakarta menjadi tempat yang sering kusambangi untuk sekadar menjilid buku atau karya tulis. Terakhir yang kuingat, sebelum aku menyelesaikan SMA.Â
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu ...
Walau kini kau t'lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Bus pun diparkir di parkiran seberang taman pintar. Kami turun dan rencananya hendak jalan kaki sajalah. Sore-sore, alangkah nikmatnya mengabadikan pemandangan jelang senja di Benteng Vredeburg, menyusuri A. Yani menuju Malioboro.Â
Sayang, kejadian tak menyenangkan dialami oleh anak-anak yang kudampingi. Alih-alih memilih untuk berjalan kaki, mereka mengiyakan tawaran abang-abang becak yang memberi harga cukup miring, Rp. 10.000,- pulang pergi Malioboro. Aku sendiri heran mengapa begitu miring karena mereka bukan becak online yang diorder dengan harga pasti yang sudah tertera dalam gawai. Tapi, kupikir ya memang karena jaraknya yang tak terlalu jauh. Mungkin wajar harga segitu.Â
Kami kaget karena setelah ada seorang teman pendamping yang "nyusul" anak-anak yang memilih menggunakan becak. Mereka tidak diantar ke Malioboro, tetapi malahan memutar dulu mengunjungi tempat penjualan Bakpia dan Kaos. Anak-anak pun diminta turun oleh tukang becaknya dan ditunggu sampai mereka selesai berbelanja. Beberapa anak yang pernah ke Malioboro tentu heran, "Kok Malioboronya seperti ini?" Tukang becaknya tak mau kalah dan menjelaskan, "Ini Malioboro yang baru, Malioboro yang lama belum buka!"Â
Tak heran, anak yang memang tak mau belanja tetap meminta diantar ke Malioboro. "Bayar 50.000 mas,"begitu jawaban tukang becaknya. Kalau tidak, tidak mau diantar kembali. Akhirnya, karena kasihan, ada tukang becak yang masih berbaik hati, bisa dinego untuk mengantar ke arah Malioboro. Anak-anak yang pertama kali menyambangi Yogyakarta memang merasa pas harus memberi buah tangan untuk keluarga, tetapi caranya yang bagiku tidak pas.Â
Mana yang lebih baik, mengatakan dengan jujur bahwa nanti rutenya hanyalah berbelanja atau "menipu" menawarkan harga miring tetapi tidak sampai tujuan. Kejadian itu sontak membuatku merasa Yogyakarta tak lagi ramah untuk pendatang karena ada oknum-oknum yang kutemui. Ketika ditawari, aku berpikir cukuplah mengucapkan terima kasih untuk menolak permintaan mereka mengantarkan (bukan) ke Malioboro. Kami lebih memilih jalan kaki saja. Sayangnya, anak-anakku yang malahan harus mengalami "ketidaknyamanan" ini.Â
Semoga dengan catatan ini, Yogyakarta kembali mengundang rasa kangen, dirindukan untuk pulang ke kota ini lagi. Yogyakarta yang kukenal adalah kota yang selalu hadirkan senyum abadi. Kota Yogyakarta pun selalu mengijinkan untuk selalu kupulang lagi, terutama bila hati mulai sepi tanpa terobati. Menurut hematku, oknum-oknum semacam ini justru mematikan potensi pariwisata. Yogyakarta adalah kota yang nyaman untuk dikunjungi oleh siapapun. Dan, kuharap tetaplah jadi demikian.