Tulisan ini sekedar sharing pribadi saya sebagai guru musik. Saya tidak akan bicara soal konsep pedagogis yang sulit, tetapi cukuplah pengalaman pribadi. Semoga sharing ini membantu.Â
Â
Belajar Biola: dari Mula hingga KeroncongÂ
Awal mula ketertarikan saya dengan alat musik ini adalah ketika mengenyam pendidikan di SMA. Kala itu, ada beberapa pilihan alat musik yang bisa dipilih untuk mengembangkan talenta di bidang musik. Salah satunya adalah biola. Bersyukurlah saya karena biaya untuk mengikuti kursus ini tidak terlalu mahal layaknya teman-teman di luar yang menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan untuk mengambil sertifikat internasional. Namun, bukan berarti guru saya bukanlah guru yang tidak profesional. Tentunya, berbekal pengalaman semasa kuliah di Institut yang memang khusus untuk musik, saya bersyukur mendapat pendampingan yang luar biasa dari beliau.Â
Alhasil, saya pun masuk dalam kelompok orkestra. Bukan hal yang mudah memang, tetapi itulah pengalaman saya. Waktu-waktu untuk istirahat di asrama saya sisihkan untuk sejenak berlatih di lapangan basket. Saya takut kalau-kalau suara yang "menyayat telinga" itu didengar teman-teman. Maklumlah, baru belajar. Belum lagi, not balok. Butuh perjuangan keras untuk menaklukkan dan menghapalkan letaknya seraya menyelaraskan dengan tonasi dan gesekan.Â
Saya tidak punya referensi tentunya. Kala itu belum jamannya youtube. Saya diperbolehkan keluar asrama hanya seminggu dua kali. Itu pun saya harus sedikit mengeluarkan uang untuk mencapai kota kabupaten. Tahulah saya, meski di pinggir jalan propinsi, tempat tinggal saya semasa SMA adalah kecamatan. Akses warnet pun masih sangat terbatas. Di asrama, komputer-komputer yang disediakan masih dengan teknologi windows Millenium Edition, pun pula program Word Star.Â
Alhasil, meniru dan berlatih. Itulah yang bisa saya lakukan. Benchmark istilah kerennya. Entah meniru teman-teman yang senior atau paling tidak mendengar kaset yang tentunya harus bersusah payah ketika ada notasi yang belum akrab di telinga dan harus diulang kembali. Kala itu belum begitu populer media digital seperti mp3 atau CD. Terbatas. Paling-paling kalau sempat, menuliskan partitur dengan program Encore yang ditranskrip dalam midi supaya bisa dimainkan pada keyboard. Namun saya sangat menikmati masa-masa itu; Saat susahnya saya mempelajari "Twinkle-Twinkle Little Star", saat saya mempelajari "Canon in D", saat saya bisa mengiringi teman-teman koor angkatan dengan lagu "Jesu, Joy of Men's Desiring".Â
Selepas masa SMA, saya pindah ke ibukota. Tak ada lagi kelas biola. Hingga akhirnya, saya diajak seorang teman untuk aktif lagi dalam kegiatan musik di kampus. Tak ketinggalan tentu, saya belajar kembali dalam satu komunitas biola dan berkenalan dengan mereka yang bersentuhan langsung dengan aliran musik selain klasik. Meski metode klasik yang saya kenal, tetapi saya jadi lebih antusias ketika ternyata biola pun bisa dimainkan dengan baik dengan cara yang bagi saya belum pernah saya temui semasa SMA. Tak ketinggalan tentu, saya masih juga mengikuti kegiatan dalam komunitas orkestra, tempat saya pun belajar artinya pelayanan.Â
Â
Mengajar Musik: Pergulatan Hobi, Passion, dan Pedagogi
Kini, saya pun mengajar musik, secara khusus biola. Sembari mengajar, mendampingi anak-anak dalam suatu kelas klasikal, saya pun menangani beberapa adik-adik yang mau belajar privat. Memang disadari, pilihan ini tidaklah umum. Musik tidaklah begitu penting. Musik adalah hiburan. Musik adalah hobi. Musik adalah teman santai sembari ngeteh atau ngopi di sore hari. Musik adalah teman perjalanan jauh. Dan, musik adalah teman kala sendiri atau sedang gundah gulana.Â