Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist

Geologist | Open Source Software Enthusiast | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pulang Kampung Boleh, Bandel Jangan: Catatan dari Pinggiran Jawa Barat

25 April 2020   17:49 Diperbarui: 26 April 2020   14:31 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kuninganmass.com

Salah seorang kawan saya yang juga seorang dokter di sebuah rumah sakit di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat -- sebut saja Teh Puspa (bukan nama sebenarnya) -- kerap membagikan keluhannya di media status Whatsapp. Keluhan Teh Puspa beragam, mulai dari ban sepeda motor yang bocor saat hendak pulang dari rumah sakit hingga kelakuan pasien-pasiennya yang absurd.

Di tengah tren pandemik Covid-19, Teh Puspa jadi lebih sering membagikan keluhan seputar abainya masyarakat Kota Kuda terhadap penyakit yang menginfeksi lebih dari 2, 5 juta penduduk dunia ini [1]. Salah satu hal yang dikeluhkan oleh dokter periang tersebut adalah gelombang massa mudik dan pulang kampung warga Kuningan (kita akan membedakan istilah "mudik" dan "pulang kampung" berdasarkan keterangan Presiden Joko Widodo saat wawancara dengan Najwa Shihab [2]).

Kabupaten Kuningan merupakan salah satu daerah di tepi timur Jawa Barat yang menjadi tujuan mudik dan pulang kampung dari wilayah Jabodetabek, Bandung, dan lain-lain. Perantaunya pun macam-macam, mulai dari pekerja kantoran, kuli bangunan, hingga mahasiswa. Sebagian besar di antaranya merupakan pekerja sektor nonformal.

Kondisi tanggap darurat Covid-19 di seluruh pelosok negeri, disusul pemberlakuan PSBB di Jabodetabek dan wilayah lainnya membuat para pekerja sektor nonformal gigit jari. Pembatasan aktivitas luar ruangan benar-benar dibatasi sedemikian rupa oleh pemerintah. Bagi mereka yang tidak punya banyak pilihan, bertahan di perantauan tanpa pekerjaan dan penghasilan hanya akan membunuh pelan-pelan. Tidak mau sedih jauh terasing dari keluarga, para buruh harian lepas, pedagang pasar, rokok, mie instan dan lain sebagainya terpaksa harus "pulang kampung".

Perantau yang mengalami kesulitan pada akhirnya membuat pemerintah daerah Kabupaten Kuningan tidak kalah kesulitan. Ribuan orang dengan diangkut bus antar kota antar provinsi harus dicegat di perbatasan tiap harinya kemudian disemprot disinfektan untuk mencegah penularan. Bupati Kuningan bahkan sempat memberikan laporan jumlah ODP Kuningan mencapai 50.000 orang karena arus "pulang kampung" yang sulit dibendung [3]. Pemerintah desa pun bukan main repotnya. Posko-posko siaga didirikan atas instruksi Bupati. Akses jalan desa bahkan gang-gang kecil harus ditutup agar masyarakat mau tertib dan tinggal di rumah saja.

Belakangan muncul masalah baru: perantau dicap sebagai pembawa penyakit oleh masyarakat setempat. Di beberapa daerah yang masih leluasa menggelar ibadah shalat Jumat, para perantau bahkan diminta untuk tidak ikut ke masjid lantaran khawatir ancaman virus yang tidak terlihat mata telanjang. Ini sudah jadi konsekuensi bagi mereka yang "pulang kampung", terutama bagi yang kembali dari zona merah. Akan tetapi, sebagai bagian dari masyarakat setempat tentunya para perantau akan merasa terpojokkan karena pandangan masyarakat [4].

Perantau tertib aturan (semoga saja semuanya tertib aturan) akan segera mengisolasi diri selama 14 hari terhitung sejak kedatangannya. Sebisa mungkin mereka akan membatasi kegiatan di luar rumah untuk menghindari seandainya mereka ternyata Orang Tanpa Gejala.

Akan lain soal jika si perantau tidak menghiraukan himbauan dan merasa diri sehat. Salah satu Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang dirawat di Kuningan dikabarkan sempat melakukan kontak dengan beberapa warga setempat dan sanak saudara. Hal tersebut membuat mereka kini berada dalam pengawasan dan pemeriksaan [5]. Inilah yang sebetulnya dikhawatirkan dari ketidakpatuhan para perantau yang pulang kampung. Apalagi suasana bulan Ramadhan yang tidak jauh-jauh dari suasana ramai, kontrol terhadap perantau "bandel" semakin sulit dilakukan. Mereka tidak sadar bahwa membeli es buah sambil ngabuburit bisa mengancam nyawa orang lain.

Larangan "mudik" dan diperbolehkannya "pulang kampung" sebenarnya merupakan "celah" bagi para perantau untuk dapat kembali ke kampung halamannya di saat kondisi yang tidak menentu seperti sekarang. Di lain pihak, aturan tersebut juga merupakan ujian bagi para perantau untuk meningkatkan kesadaran diri. Pilihan ada di tangan mereka: mau ikut aturan pemerintah atau menjadi ancaman keselamatan keluarga yang mereka cintai.

Referensi:

[1] https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun