Ibu dan Sahur Kita
Brang...gedumbrang...brang
Suara kaleng bertalu-talu
Pada dini hari yang sunyi
Ramai anak-anak berkeliling kampung
Sambil berteriak
Sahur! Sahur! Sahur!
Di sudut-sudut kamar
Meringkuk tubuh berbalut selimut
Menggeliat sesaat
Memicingkan mata
Mengintip jam dinding
Lalu kembali menarik selimut
Di sudut ruangan lain
Seorang ibu khusuk di depan tungku
Dalam diam menata meja
Menyiapkan makan sahur
Ibu
Sebelum ramai suara anak-anak berkeliling
Ia telah lebih dahulu bangun
Sibuk di dapur seorang diri
Tak peduli kantuk yang masih menggayut
Letih yang masih mendera
Bahkan rasa sakit yang mungkin menghimpit
Di tangan ibu
Alur sahur terasa berbeda
Penuh cinta
Rasa dan warna
(Puisi Denik)
Puisi di atas merupakan gambaran suasana sahur manakala masih ada sosok ibu di rumah. Kita masih terkantuk-kantuk. Ibu sudah sibuk di dapur. Setelah semua sajian siap tersaji di meja makan. Barulah ibu membangunkan kita dengan sabarnya.
Tak terasa 9 tahun sudah saya kehilangan momen tersebut. Tepatnya semenjak ibu tiada. Kembali keharibaan-NYA. Suasana Ramadan, terutama saat sahur terasa berbeda.
Bukan soal penyajian makanan. Yang sekarang apa-apa dikerjakan sendiri. Terlepas dengan cara masak sendiri atau memesannya secara online. Suasananya tuh tetap beda. Ada yang hilang.
Memang ibu itu sosok yang luar biasa dan istimewa kok. Biar pun marah-marah tidak karuan. Membangunkan kita sambil menggerutu. Tetap saja ibu selalu dirindukan. Tak ada perasaan kesal apalagi sakit hati diomeli ibu.