Dalam hati saya menyahut, "Iih, siapa juga yang pengin jadi guru."
Saya ngeyel karena merasa benar. Tapi gurunya tidak terima. Ya, sudah terjadilah perdebatan. Hanya sebatas itu saja sih. Namun beberapa tahun kemudian saat saya berdiri di depan kelas dan dipanggil bu guru oleh anak-anak. Saya senyum-senyum sendiri teringat ucapan guru di SLTA dulu.
"Beneran bertuah kata-katanya."
Saya tidak menyesal sih. Namanya jalan hidup. Meski tidak bercita-cita menjadi guru. Nyatanya saya menjadi seorang guru Taman Kanak-kanak pula. Yang harus memiliki kesabaran ekstra.
Alasan saya tidak memilih guru sebagai cita-cita hidup karena merasa tidak sabaran. Apalagi mengajar anak-anak kecil. Jadi bukan alasan lain. Yang gajinya kecillah. Yang capek lahir batin tapi tak dihargai.
Saya menjadi guru selain jalan hidup. Juga panggilan jiwa. Jadi ya saat itu benar-benar mencintai pekerjaan sebagai guru.Â
Ketika tidak lagi mengajar di sekolah. Hanya mengajar les privat. Saya kerap mengajar di perkampungan kumuh yang orang tua muridnya hanya mampu membayar dengan sebungkus nasi goreng.Â
Tapi senang-senang saja. Yang penting anak muridnya semangat. Memiliki tekad kuat untuk maju.Â
Berkaca dari pengalaman pribadi terkait ucapan guru yang bertuah. Saya selalu upayakan mengucapkan kata-kata yang bagus untuk anak-anak didik. Sekalipun dalam kondisi kesal.
Sebab ada juga ucapan guru saya yang diucapkan dengan penuh harapan dan terbukti. Jadi semacam Dream Comes True.
Waktu itu guru SMP yang ucapannya ternyata bertuah. Saya sedang mengambil hasil tugas meringkas tempat bersejarah yang telah dikunjungi. Tiba-tiba guru sejarah tersebut berkata, "Kamu punya bakat menulis sejarah. Asah terus. Bapak yakin suatu saat kamu bisa menjadi tim sejarahwan."