Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membongkar Mitos dalam Akad Nikah

20 Januari 2012   16:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38 1768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

H. Deni Firman Nurhakim, S.Ag, M.Si

Penghulu KUA Kec. Jayakerta Kantor KEMENAG Kab. Karawang

Dalam kebanyakan akad nikah yang dihadiri, penulis sering menyaksikan wajah-wajah tegang, terutama calon pengantin (catin). Tampaknya, ketegangan itu muncul akibat rasa khawatir yang berlebihan atas kelancaran prosesi ijab-qobul. Sepintas, terasa wajar. Karena bagi sebagian catin, akad nikah yang akan dilangsungkan adalah yang perdana. Namun ternyata, ketegangan serupa juga dirasakan oleh pasangan catin yang melangsungkan akad nikah bukan untuk pertama kalinya. Setelah dicermati, ternyata, ketegangan itu berpangkal pada prosesi akad nikah yang telah memiliki pakem sendiri di masyarakat. Dan sayangnya, sebagian pakem itu berupa mitos yang perlu diklarifikasi keabsahannya secara hukum, baik fiqh maupun peraturan perundang-undangan.

Akad Nikah Lebih Utama Menggunakan Bahasa Arab?

Dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai bahasa yang sebaiknya digunakan dalam akad nikah. Sehingga aturan dalam fiqh munakahat yang dijadikan acuan pelacakan.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni –sebagaimana dikutip Sayid Sabiq (1983:31-32)- berpendapat, bagi catin yang memahami bahasa Arab dengan baik, maka ijab-qabulnya harus menggunakan bahasa Arab. Sehingga apabila yang bersangkutan menggunakan bahasa selain Arab maka ijab-qobulnya tidak sah. Adapun catin yang tidak memahami bahasa Arab, maka ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, asalkan semakna dengan kata “nikah” dan “tazwij”. Dan kewajibannya menggunakan bahasa Arab menjadi gugur.

Berbeda dengan Ibnu Qudamah, Imam Abu Hanifah berpendapat, sah akad nikah menggunakan bahasa selain bahasa Arab, sekalipun yang bersangkutan memahami bahasa Arab. Karena yang terpenting, kata-kata yang digunakan semakna dengan kata-kata dalam bahasa Arab. Pandangan tersebut senada dengan pendapat Jumhur Ulama Syafi’iyah (Wahbah az-Zuhaeli, 1989:41) yang membolehkan akad nikah menggunakan bahasa selain Arab, asalkan dapat dimengerti. Karena yang menjadi inti suatu akad adalah adanya ungkapan kehendak. Dan ungkapan tersebut bisa dinyatakan dalam aneka ragam bahasa.

Pendapat Ibnu Taimiyah pun layak digarisbawahi. Menurutnya, orang nonArab yang belajar bahasa Arab secara dadakan bisa jadi ia tidak memahami bahasa tersebut sebaik bahasanya sendiri.

Dari paparan di atas menjadi maklum, bahwa yang menjadi pokok dalam akad nikah adalah adanya kesepahaman antara para pihak yang melakukan ijab-qabul, bukan bahasa yang digunakan. Sehingga, bila orang yang tidak memahami bahasa Arab dengan baik “dipaksa” melakukan akad nikah dalam bahasa Arab selain tidak elok juga dikhawatirkan menimbulkan keraguan tentang kesahihan prosesi ijab-qobul yang dilangsungkan. Karena berdasarkan pengalaman penulis bertugas di lapangan, tidak semua catin yang menginginkan akad nikahnya menggunakan bahasa Arab itu memahami dengan baik makna dari kata-kata ijab-qabul tersebut. Begitu pula, para saksi. Keinginan catin tersebut tidak jarang berasal dari keinginan orang-orang lain, semisal calon mertua dan guru ngajinya ataupun anjuran tokoh kharismatik setempat yang masih dianggap tabu untuk diabaikan.

Ijab Qabul harus Lancar dan Satu Tarikan Nafas?

Terkait hal ini, KHI pasal 27 menyebutkan, “Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu”. Tidak jarang, berdasarkan pemahaman atas ketentuan tersebut secara letterlijk, ijab kabul harus diulang berkali-kali karena masih dinilai tersendat-sendat dan tidak nyambung (ittishol) antara ijab dan qabul. Bahkan, dalam sebuah kesempatan akad nikah yang dihadiri penulis, ijab-qabul tersebut harus diulang oleh wali dan catin pria dengan susah-payah sampai lima kali !!! Dan itu pun baru berhasil dilakukan karena lafal qabul-nya ditulis di secarik kertas dan kemudian dibacakan catin pria. Yang empat kali sebelumnya dinilai tidak sah oleh para saksi karena ya itu tadi: tersendat-sendat dan tidak lancar, sehingga ijab-qabul terebut dianggap tidak beruntun dan berselang waktu. Sesulit itukah ijab-qabul dalam pernikahan Islam?

Kebanyakan ulama sepakat, bahwa berlangsungnya ijab-qabul dalam satu majelis adalah syarat sahnya akad nikah dari segi sighat. Artinya, ketika mengucapkan ijab-qabul tersebut tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut kebiasaan setempat ada selingan (selain akad nikah) yang menghalangi peristiwa ijab-qabul.

Yang masih diperselisihkan adalah menyangkut kesegeraan mengucapkan sighat qabul sesudah ijab (lihat Abdurrahman Al-Jaziry, 2003:21). Mazhab Hanbali dan Hanafi sependapat bahwa kesegeraan mengucapkan qabul sesudah ijab tidaklah menjadi syarat, asalkan masih dalam satu majelis menurut kebiasaan setempat (‘urfi). Mazhab Syafi’i dan Maliky sependapat bahwa kesegeraan tersebut adalah syarat sah ijab qabul. Menurut kedua mazhab ini, antara ijab-kabul tidak boleh ada pemisah, kecuali yang dapat ditoleransi (baca: sebentar). Sehubungan demikian, penulis sependapat dengan Ibrahim Hosen (1971: 122) yang menyimpulkan, shighat qabul itu tidak harus diucapkan dengan lancar atau dalam satu tarikan nafas. Karena yang penting, ijab-qabul tersebut terjadi dalam satu majelis. Dan menurut Ibnu Qudamah, selama terjadinya akad nikah tetap dipandang satu majelis.

***

‘Ala kulli hal, penulis sepakat, akad nikah adalah akad yang sakral dan oleh karenanya harus khidmat dalam menjalaninya. Tapi kesakralan tersebut tidak perlu dijalani dengan wajah-wajah tegang. Terlebih lagi, pangkal ketegangan tersebut BUKAN berasal dari aturan-aturan yang termaktub dalam fiqh munakahat, melainkan dari pemahaman sebagian orang atas aturan-aturan tersebut yang –sayangnya- diterima masyarakat begitu saja secara tidak kritis dan akhirnya menjadi mitos yang membelenggu setiap orang yang akan melangsungkan akad nikah. Wallahu a’lam bis showab.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziry, Abdurrahman. Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhibil Arba’ah. Libanon: Darul Fikr, 2003. Juz 4

Az-Zuhaeli, Wahbah. Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu. Libanon: Darul Fikr, 1989. Juz 7

Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rudjuk dan Hukum Kewarisan. Djakarta: Jajasan Ihja ‘Ulumiddin Indonesia, 1971. Djilid-I

Sabiq, As-Sayid. Fiqhus Sunnah. Libanon: Darul Fikr, 1983. Juz 2

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun