Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saksi Nikah: Pengesah Akad Nikah?

16 April 2019   12:14 Diperbarui: 16 April 2019   12:32 5061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai penghulu, usai adegan ijab-qobul antara wali nikah atau wakilnya dan pengantin pria, kita biasa menanyakan kesahannya kepada dua orang saksi, "Bagaimana bapak-bapak para saksi, apakah sudah sah dan memenuhi ketentuan syari'at?". Kalau dijawab sah, maka akad nikah dinilai cukup. Tapi kalau saksi menilai belum sah, maka akad nikah pun diulangi lagi sampai dua orang saksi nikah tersebut menyatakan sah.

Kebiasaan di atas sudah sangat lazim dalam suatu pernikahan. Sehingga dalam pernikahan yang pernah penulis tonton di TV yang disiarkan secara nasional dan dihadiri tokoh-tokoh besar seperti Kyai atau Profesor pakar hukum Islam pun, adegan itu juga terjadi.

Pertanyaannya, benarkah saksi nikah itu juga berfungsi sebagai pengesah akad nikah? Kalau benar, apa dasarnya? Begitu pula sebaliknya, kalau tidak benar, apa alasannya? 

Tulisan ini berupaya untuk mendudukkan saksi dalam akad nikah secara proporsional, dan berusaha memisahkan mana fungsi saksi nikah yang termasuk fakta serta mana yang mitos, dengan merujuk pada keterangan dalam kitab fiqh munakahat dan peraturan perundang-undangan tentang pernikahan.

Kedudukan Saksi dalam Akad Nikah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saksi adalah orang yg melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Pengertian lain soal saksi bisa ditemukan dalam KUHAP Pasal 1:26, yakni: "Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saksi nikah adalah orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri suatu peristiwa/kejadian akad nikah antara wali nikah/wakilnya dengan calon suami/wakilnya dengan tujuan mereka kelak dapat memberikan keterangan yang diperlukan guna kepentingan perkara tentang pernikahan yang diketahuinya itu.

Menurut jumhur ulama, saksi nikah bukan termasuk rukun nikah, melainkan syarat sah nikah. Dalam pandangan mayoritas ulama, rukun nikah itu ada empat: a. shigat (ijab qobul), b. isteri, c. suami, dan d. wali (Wahbah Zuhaeli, Juz 7, 1989: 36-37). Adapun saksi dikelompokkan sebagai syarat sah nikah seperti halnya maskawin. Namun demikian, ada sebagian ahli fiqh yang menganggap saksi sebagai rukun nikah. Dan pandangan terakhir inilah yang kemudian diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI): "Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah" (pasal 24:1). Sehingga, "Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi" (pasal 24:2).

Ketentuan KHI soal saksi nikah di atas, juga sebelumnya diatur dalam pasal 10 ayat 3 PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974 tentang Perkawinan: "Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".

Alhasil, terlepas dari perbedaan pendapat antara saksi sebagai syarat nikah atau saksi sebagai rukun nikah, yang jelas saksi menempati posisi penting dalam akad nikah. Karena Nabi SAW memerintahkan kita mengumumkan pernikahan yang terjadi, dengan sabdanya: "A'linuu an-Nikaah..." (HR. Ahmad). Berdasarkan hadits ini, hikmah suatu kesaksian adalah untuk mengumumkan (I'lan) telah terjadinya suatu pernikahan dan mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan di masa mendatang bila terjadi pengingkaran nikah (Wahbah Zuhaeli, 1989: 73).  

Siapa Pengesah Akad Nikah?

Sebagaimana tercantum dalam pasal 2:1 UU No 1/1974 tentang perkawinan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dengan demikian, yang menjadi penentu sah/tidaknya suatu pernikahan orang Islam adalah bisa dilacak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh Islam) soal itu. Dalam ketentuan fiqh Islam yang masyhur yang kemudian diadopsi dalam pasal 14 KHI, secara singkat dapat ditegaskan bahwa pernikahan itu sah apabila telah terpenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qobul), berikut syarat-syarat yang mengiringinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun