Mohon tunggu...
Deni Firman
Deni Firman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Senang menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seiris Bunbun dalam Sepotong Tionghoa

25 November 2022   13:39 Diperbarui: 9 Desember 2022   09:29 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seumur-umur baru tahu nama asli si Bunbun itu Yongsiebun. Adiknya Bun-bun namanya Kimbun, biasa dipanggil Kikim. Adiknya Kikim namanya Yongbun. Adiknya Yongbun perempuan, namanya Punpun.

Tetapi kata Bunbun, si Kikim sudah meninggal, kena sakit paru-paru. 

Si Bunbun ini waktu kecilnya pemimpin anak-anak kecil di Gang H. Paling pintar main bola, pintar main basket dan pintar cukur rambut. Tidak ada semangat permusuhan kalau 'ngadu' sama anak kampung lain, karena Bunbun selalu disegani dan disukai.

Tampangnya memang Cina tetapi sudah kecoklatan kulitnya. Ayahnya Pak Tjapsen dan mamanya masih pintar bahasa Cina entah varian yang mana. Di Gang H ada juga Mamanya Yungyung yang pengusaha kue talam singkong. Kalau mereka berdua ketemu biasanya ngomong pakai bahasa Cina itu, yang orang lain tidak paham.

Kikim itu pernah ngerjain saya. Semua layangan putus yang saya kumpulkan satu demi satu dari atas loteng rumah saya dimainkan semua sama Kikim, sampai putus.

Yongbun sama dengan Abangnya. Pintar main bola. Kalau Punpun kurang akrab karena perempuan dan usianya lebih kecil.

Jarak usia saya sama Bunbun juga lumayan jauh. Mungkin sekitar 5-10 tahunan. Jadi dia itu bukan sepantaran, makanya jarang ngobrol. Tetapi kira-kira dua tahun lalu saya girang ketemu Bunbun di Facebook. Ternyata dia sudah masuk Islam dan sudah punya anak istri. Papa mamanya masih hidup dan Bunbun meneruskan berdagang mie ayam di kawasan Penggilingan Jakarta Timur.

Waktu saya temui  (26/11/22) Bunbun sudah pindah kios ke Jl. Cempaka Klender Jakarta Timur. Sebenarnya itu kios mamanya. Tetapi karena mamanya sudah mulai sakit-sakitan, kios Mie Ayam Bangka Rafi di Penggilingan dia tutup sementara dan pindah ke Klender.

Orang-orang Tionghoa di Gang H lebur saja dengan yang lain. Tidak ada namanya stigmatisasi apalagi rasisme. Bertetangga dan berteman tidak pandang bulu: pribumi atau non-pribumi, kalau ngobrolnya nyambung dan sama-sama rakyatnya pasti kompak.

Orang-orang Tionghoa yang ada di televisi, yang jadi tokoh, yang masuk Islam --saya rasa sama saja seperti orang kita: ada yang kaya ada yang miskin, ada yang ramah ada yang songong, ada yang jaga jarak tapi banyak juga yang larut sama sekitarnya: Cinanya sudah tidak kelihatan lagi.

Belakangan saya tahu bahwa stigmatisasi dan sterotyping juga menimbulkan penderitaan tersendiri di kalangan keturunan Tionghoa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun