Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta via Ponsel

4 Oktober 2021   11:01 Diperbarui: 4 Oktober 2021   11:03 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CINTA VIA PONSEL

Hari terlelap malam. Pancaran kesunyian telah menghanyutkan semua aktifitasku. Gelap, yang hanya dihiasi purnama yang tak berwarna karena lekukan mataku telah terpejam. Dengan lelap yang membuahkan mimpi-mimpi indah. Merambah ke dalam alam lain mengucap kata yang tak pernah ada dalam kamus bahasa, tetapi tetap memiliki arti dalam tidurku. 

Entahlah, setiap malam aku seperti itu. Mungkin tidak akan ada yang mau meneliti diriku sewaktu aku tidur. "Tat...tit...tut..." dengan suara nyaring ponsel itu membuatku terbangun dari kisah yang aku perankan dalam dunia mimpi. Dan akupun menggapai ponselku.

"Hallo...? Hallo...? siapa nih?" aku dengan setengah sadar mengangkatnya yang berada di meja belajarku di samping tempat tidurku. Namun terkadang aku menaruhnya tepat di sebelah bantal yang aku tiduri agar bisa dengan mudah mengambilnya. 

Ponselku menjadi teman setiaku setiap saat. Tak ada jawaban. Aku menunggu sebentar. Orang yang masih berada di seberang sana di balik ponselnya itu, tidak bersuara, tidak memberi jawaban. 

Ah, aku tidak mempedulikannya, aku bukan hanya sekali ini saja menerima misedcall iseng karena ini menjadi lumrah dan biasa dari temanku yang jahil dan sengaja mengganggu tidurku. Kembali ke alam mimpi. Aku pun merebahkan tubuhku di atas gumpalan busa yang empuk. Melanjutkan kisah yang tadi yang terhenti karena suara ponselku.

Tetesan embun yang menetap di ujung dedaunan hijau sudah jarang aku temui di sekitar rumahku, bahkan nyanyian burung tak pernah menjadi weker bangunku. Mungkin burung-burung sibuk mencari kehangatan dari sinar matahari yang baru saja muncul dari persemayamannya.

"Fan, bangun sudah siang! Kamu kuliah pagi kan?" wanita separuh baya mengoyang-goyangkan tubuhku agar aku bisa melek dan bangun dari kelelapanku.

Dia adalah ibuku yang menjadi wekerku. Aku tetap saja tak terbangun meskipun aku memasang alarm di ponselku. Aku tak akan terbangun sebelum ibuku datang ke kamarku dengan mengantar cinta dan kasih sayangnya untukku.

"Ya, sebentar lagi, bu." Merasa tanggung untuk mengulas cerita mimpiku.

Ternyata jarum jam sudah menunjuk pukul tujuh. Di luar sudah kelihatan terang bak malam diguyur lampu neon. Kendaraan sudah berlalu lalang bak air yang mengalir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun