Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kajian Cerita Anak: Kesastraan, Kesetiaan, dan Sol Sepatu

16 September 2021   10:48 Diperbarui: 17 September 2021   04:56 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku cerita anak. Sumber: VIVIANE MONCONDUIT via Pixabay.com

Apalagi unsur kebenciannya dari anak untuk ayahnya dan kebencian seorang isteri kepada suaminya, meskipun tidak secara langsung. Anak-anaknya malu karena ayahnya adalah seorang tukang sol sepatu, apalagi pekerjaan tersebut sudah dijalaninya selama empat puluh tahun. Mereka melawan apa yang dikatakan si Bogel sebagai ayah dan suami. 

Dengan sebutan kata 'tolol' yang diberikan anak-anaknya si Bogel bersama isterinya karena hanya orang tolollah yang mau bekerja selama empat puluh tahun hanya sebagai tukang sol sepatu. Hal inilah yang menjadi sebuah analogi dalam cerita tersebut sehingga dapat dikategorikan cerita yang kurang baik untuk bacaan anak.

"Hei, Tolo! Kau dengar tidak perkataan Ayahmu ini?" bentak Pak Bogel sengit.

"Yang tolol itu Ayah, bukan aku!" sahut anaknya itu tiba-tiba tanpa dinyana-nyana. (hlm 43)

Ciri yang kedua dalam bacaan anak adalah langsung, artinya gaya yang digunakan dalam cerita tidak bertele-tele, deskripsi yang singkat, bersifat dinamis, dan ada sebuah aksi. 

Bambang Joko Susilo memberikan gaya bahasa yang bisa dianggap langsung pada pokok permaslahan sehingga dapat mudah dipahami oleh pembaca khususnya nak-anak. 

Deskripsinya pun secara singkat dipaparkan oleh Bambang Joko susilo dan bahkan ada beberapa aksi sebagai daya tarik dalam cerita tersebut. Ini berarti dapat dijadikan kekuatan dalam menarik anak untuk membaca cerita Dokter Sepatu Rusak.

Yang terakhir sebagai ciri bacan anak adalah terapan, artinya pengarang tidak bermaksud menggurui tetapi seharusnya ada unsur pendidikannya. Soekanto S. A mengatakan keterlibatannya terhadap cerita anak adalah salah satu alasannya karena menulis untuk anak-anak itu setidaknya ada kesan menggurui. Dan pengarang sastra itu tidak mau menggurui. Kita harus sama-sama hidup, tidak saling menggurui. Jadi memang sedikit sastrawan yang menulis buku untuk anak-anak.

Oleh karena itu, pengarang merasa cerita anak-anak penuh dengan pesan dan pantangan yang mengurangi kebebasan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan sebagai pengarang. Keharusan berkomunikasi dengan anak-anak dirasakan sebagai kungkungan.[2]

Akan tetapi, dalam cerita Dokter Sepatu Rusak karangan Bambang Joko Susilo ada beberapa hal yang bersifat menggurui sehingga anak-anak pun akan sedikit mencari celah agar tidak termasuk dalam hal yang membosankan. Artinya, pernyataan Bambang Joko Susilo dalam ceritanya yang bersifat menggurui akan mengurangi insting anak untuk membaca ceritanya. 

Dalam pernyataan bahwa membaca itu sangat penting dan seterusnya, sebenarnya sudah diketahui oleh anak-anak atau pembaca lainnya tetapi Bambang Joko Susilo menceritakannya dengan detail. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun