Pada lain waktu, keluarga si Bogel mendapat musibah. Yang pertama anak pertam si Bogel mengalami kecelakaan sewaktu menyebrang jalan dan yang menabraknya melarikan diri. Musibah yang kedua, anak kedua si Bogel di penjara karena dituduh membunuh di saat tawuran.Â
Si Bogel merasa tersiksa dengan keadaan. Isteri si Bogel menuduh si Bogel sebagai awal musibah itu terjadi, karena jika si Bogel mencari pekerjaan lain yang bias menjamin maka kebutuhan anak-anaknya akan terpenuhi. Dengan sebutan si tolollah yang dilontarkan isterinya ke si Bogel.
Si Bogel tidak putus asa, dia tetap menjadi tukang sol sepatu dan lebih rajin mengelilingi kota yang satu ke kota lainnya lagi untuk mendapatkan uang agar bisa menebus biaya rumah sakit anaknya.Â
Karena kekurangan materilah akhirnya isteri si Bogel bekerja menjadi tukang mengupas kacang di rumah orang kaya yang sudah menjadi duda di kampungnya, sehingga si Bogel sempat mencurigai isterinya telah berselingkuh.
Hujan turun dengan deras, si Bogel pun hanya bisa terdiam di stasiun kereta. Namun, si Bogel mendapat objekan dari pegawai stasiun tersebut sehingga tidak perlu berkeliling kota. Nasib sial menimpanya lagi, ketika sedang tidur di hamparan stasiun, uangnya hilang.Â
Si Bogel melaporkannya ke Polisi dan ternyata polisi tersebut adalah salah satu orang yang pernah disol sepatunya. Akhirnya, polisi menemukan dompet si Bogel dari anak-anak jalanan. Si Bogel pun pulang dengan sedikit rasa bahagia membawa uang dari hasil dia mengobati sepatu yang rusak.
Dengan melihat atau membaca cerita anak di atas, begitu menarik tema yang dimunculkan oleh pengarang. Pengarang memberikan nuansa yang berbeda untuk disajikan pada anak-anak yaitu cerita tentang tukang sol sepatu.Â
Bambang Joko Susilo memiliki kesempatan untuk memberikan hal-hal aneh dan kreatif agar anak mengetahui atau memahami keadaan kehidupan yang ada di sekitarnya, karena tidak semua orang akan merasakan kesenangan hidup dengan berlimpah materi.Â
Akan tetapi, dalam cerita ini begitu kental dengan keadaan manusia yang sebenarnya menjadi fakta yang ada di depan mata kita, miskin dan tertindas.
Bahasa Bambang Joko Susilo sepertinya muncul ketika membaca ceritanya, lantang dan jelas sehingga akan mudah untuk dipahami. Oleh karena itu, bahasa akan menentukan ketertarikan pembaca untuk menerima pesan moral dari pengarangnya, atau dengan istilah lain, bahasa menjadi jembatan antara pembaca dengan pengarang.Â
Jika bahasanya lugas dan jelas dalam cerita si pengarang, pembaca pun akan langsung menangkap unsur-unsur yang ingin disampaikan pengarang. Sebaliknya, pembaca akan jenuh dan tidak tertarik jika bahasa yang digunakan pengarang dengan bentuk yang tidak jelas sehingga sulit untuk dipahami.