Saya tertegun dengan kalimat judul di atas, dan ketertegunan saya jadi semacam counter attack ke jantung fikiran hingga terbersit sebuah tanya: sudahkah saya merasa seperti itu? Membaca dan menulis memang merupakan hal mendasar. Dari sinilah kebudayaan suatu kaum lahir, tatanan sosial memadan, dan kesadaraan untuk memajukan iptek tergugah. Karena ketika manusia yang kebutuhan pangan, sandang dan papan-nya telah terjamin, ia akan mencari kebutuhan yang lebih tinggi dan luhur, yaitu eksistensi diri. Kebutuhan eksistensi diri ini mungkin terpicu oleh munculnya berbagai pertanyaan di seputar kehidupan, seperti: untuk apa kita lahir di bumi, bagaimana keadaan manusia yang hidup di belahan dunia lain, atau, akan seperti apa keadaan kita di masa datang? Semua itu kemudian terwujud dalam torehan prasasti hingga terobosan teknologi yang membawa seekor orang utan ke lintasan orbit. Dan progress terus berlanjut. Membaca dan menulis kini bukanlah soal 3D – datang, duduk, diam – di bangku sekolah, berbalas mention di timeline twitter, atau menghabiskan waktu di kekuatan sihir media bernama blog. Membaca dan menulis telah bertransfrormasi menjadi urat nadi kemajuan sebuah bangsa, ukuran tingkat kemakmuran, bahkan ke level kualitas hidup. Kita tahu fakta yang ada di Jepang, dimana para manula-nya pun tak mau kalah berjejal di toko buku sambil menenteng kaca pembesar. Dan Jerman yang dengan semangat Sachen Machen – berbuat sesuatu – nya mampu menggalakkan membaca dan menulis tuk menaikkan kembali pamor Made in Germany. Kita seyogyanya selalu kelaparan dan kehausan. Bila sebegitu niatnya kita berkeliling kota mencari sate terenak tuk mengganjal perut, apakah itu setara dengan air liur yang menetes kala berdiri di depan rak toko buku? Dan jika es teler adalah idaman saat kerongkongan menuju titik terkering, apakah rasa itu ada waktu hasrat menulis timbul? Yuk, terus membaca dan mulai menulis!