Mohon tunggu...
Muhammad Dendy
Muhammad Dendy Mohon Tunggu... Seniman - menulis adalah obat hati

"saya adalah orang yang selalu ingin belajar dan selalu ingin mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri saya"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Diprediksi Ikut Pilpres 2019, AHY Sebaiknya Matangkan Diri untuk Pilpres 2024

11 Maret 2018   02:51 Diperbarui: 11 Maret 2018   09:49 2953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: merdeka.com

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kini  hampir seluruh masyarakat Indonesia mengenal nama ini, putra pertama presiden ke-6  SBY tersebut memang tengah naik daun namanya semenjak Pilkada Jakarta 2017 lalu. Di mana ketika hasil hitung cepat menyatakan dirinya kalah dengan Anies dan Ahok pada putaran pertama, dengan kesatria AHY menggelar konferensi pers untuk mengakui kekalahannya, dan memberikan selamat kepada Anies dan Ahok yang masuk melaju keputaran kedua.

Strategi politik AHY terbukti jitu dikala itu dimana dengan membentuk kesan AHY berjiwa kesatria ketika mengakui kekalahannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Ternyata ketika AHY mengakui kekalahannya sebelum pengumuman resmi KPUD Jakarta, mengundang simpati publik terhadap AHY  dan melambunglah nama AHY.

Pilkada DKI Jakarta mungkin dijadikan AHY sebagai batu loncatan atau gelanggang politik pijakan awal untuk memasuki gelanggang politik nasional. Nama AHY memang berkibar semenjak Pilkada DKI Jakarta, meskipun kontroversi menghampiri sosok ini. Karena bagaimana mungkin AHY yang masih merupakan seorang mayor dan masih memiliki karier cemerlang dalam tubuh militer, pada akhirnya secara kurang matang masuk kedalam riuhnya dunia politik.

Strategi membentuk citra positif AHY sebagai sang kesatria yang dewasa secara berpolitik dengan mengakui kekalahannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017, ternyata terbukti ampuh membuat nama AHY masuk dalam bursa capres maupun cawapres. Karena meskipun ia mengalami kekalahan telak pada Pilkada DKI Jakarta 2017, tetapi ada bonus politik dengan masuknya nama AHY baik sebagai capres alternatif, maupun cawapres alternatif.

Sosok yang masih bersih dan masih jauh dari citra kurang baik yang melanda partai Demokrat akhir-akhir ini, ternyata dapat dinetralkan dengan adanya sosok AHY ini. Tetapi,apakah tidak terlalu cepat untuk terlalu buru-buru mendorong AHY memasuki gelanggang politik nasional?

Belajar dari kekalahan Pilkada DKI Jakarta 2017

Pilkada DKI Jakarta memang bisa dibilang pertarungan perebutan kursi kepala daerah yang paling sengit dan bahkan membuat kehebohan hingga merembet keseluruh penjuru nusantara. Meskipun banyak yang merasa bahwa pilkada Jakarta akan memunculkan konflik horizontal yang luas.

Ternyata tidak terbukti, karena seusai Pilkada Jakarta putaran kedua dengan cepat kondisi politik yang panas tadi langsung mereda, meskipun masih ada riak-riak di sana-sini. Tetapi tidak membuat konflik horizontal yang cukup serius, selain perdebatan antar pendukung dalam social media.

Ada yang cukup menarik di sini, di mana kubu pendukung Ahok bisa menjadi alat kontrol pemerintahan Anies yang berkuasa di Jakarta, dan saya rasa ini akan menjadi positif jika kritik-kritik yang disampaikan bersifat membangun.

Kembali ke sosok AHY tadi, kekalahan AHY pada putaran pertama memang menjadi bukti kualitas komunikasi politik Ahok dan Anies jauh mengungguli AHY. Apalagi selama ini DKI Jakarta selalu identik diikuti oleh figur militer minimal berpangkat Mayor Jenderal alias bintang dua.

Hal yang perlu menjadi pertimbangan AHY adalah kekalahan dirinya pada pilkada DKI Jakarta putaran pertama yang seharusnya bisa menjadi alat evaluasi bagi AHY, karena bagaimana mungkin seorang yang sudah kalah dalam pilkada DKI Jakarta, masih akan dimajukan pada politik nasional?

Keputusan Demokrat secara cepat memasukkan AHY dalam politik nasional, yang minimal adalah kursi cawapres, seharusnya dipertimbangkan dengan matang. Apalagi wacana AHY cawapres Jokowi, semakin menguat ketika Jokowi datang menghadiri Rapimnas Demokrat, di Sentul, Jawa Barat yang berlangsung pada Sabtu (10/3/2018).

Secara popularitas, AHY memang sangat kuat untuk disandingkan bersama Jokowi atau mungkin jikalau pun tidak bersama Jokowi membentuk poros ketiga pun AHY mampu, karena ia memiliki partai Demokrat yang didirikan oleh ayah kandungnya sendiri.

Secara suara parlemen Demokrat memiliki 10 persen, tentu cukup besar karena demokrat adalah partai ke 4 terbesar  berdasarkan hasil Pileg 2014. Tetapi popularitas saja tidak cukup, karena jika popularitas tidak diimbangi tren postif, popularitas tersebut bisa saja berlaku sebaliknya yaitu anjloknya elektabilitas.

Secara sumber daya politik amunisi AHY cukup kuat melalu partai Demokrat, tetapi meskipun elektabilitas AHY sebagai capres maupun cawapres alternatif selalu berjejer dengan sosok Anies, Gatot, maupun TGB.

Tetapi brand AHY yang masih terpaku pada sosok SBY harus menjadi perhatian serius sebelum memasukkan AHY langsung dalam pertarungan pilpres 2019 kelak. Karena kembali yang saya sebutkan tadi, kekalahan pada Pilkada DKI Jakarta harus menjadi pelajaran AHY untuk memperkuat brand politiknya tanpa sosok SBY.

Pilpres 2024, adalah pertarungan yang cocok untuk AHY

Pilpres 2024 bisa dibilang adalah pilpresnya kaum muda, kenapa saya sebut seperti itu? karena akan ada kecenderungan refresh dari sosok tokoh politik. Di mana sosok politikus muda seperti Anies, AHY, serta TGB yang merupakan Gubernur NTB yang namanya tengah naik daun kini. Akan menjadi kuda hitam nantinya.

Selain ketiga sosok diatas, pilpres 2024 juga bisa menjadi era kebangkitan politikus dari kalangan generasi milenial yang lahir antara tahun 1977-1995. Bahkan bukan tidak mungkin bursa capres nantinya mayoritas diisi oleh kalangan dari generasi milenial.

Karena Pilpres 2019 bisa saja menjadi akhir dari drama politikus lama, dan pertarungan akhir Jokowi-Prabowo, dan tentu saja ini bisa menjadi kesempatan bagi AHY untuk bertarung secara mantap pada Pilpres 2024 ini.

Lalu kemana AHY selama 5-6 tahun kedepan menuju pilpres 2024 jika tak maju pada Pilpres 2019? 5-6 tahun kedepan, sepertinya waktu yang cukup untuk AHY membesarkan Demokrat. Apalagi sosok AHY yang fresh dan masih bersih, cukup menjual untuk membawa nahkoda partai Demokrat menjadi partai terbesar seperti yang terjadi dimasa lalu.

Dengan menduduki kursi ketua umum Demokrat dan berjuang membesarkan partai Demokrat yang dahulu pernah besar karena nama ayahnya. AHY dapat meregenerasi figur dalam Demokrat itu sendiri, di mana sebelumnya figur sentralnya adalah SBY, AHY bisa berkesempatan mengubah brand tersebut menjadi partai dengan figur sentral AHY. Apalagi arah SBY untuk membentuk figur AHY sebagai figur sentral Demokrat pengganti dirinya kelak sudah mulai terlihat kini. Dimana dalam hal-hal penting mengenai partai Demokrat, AHY  selalu tampil menggantikan SBY untuk mengurus hal-hal berbau kepartaian.

Setelah Demokrat bisa kembali jaya dengan tak lagi bergantung dengan figur SBY dan berganti posisi dengan titik sentral figur AHY. Maka jelas sudah AHY telah sangat matang dan memiliki brand politik sendiri tanpa brand SBY yang merupakan ayah kandungnya.

Sehingga kematangan berpolitik AHY pun meningkat dan brand politik AHY pun semakin menguat untuk dijual pada Pilpres 2024. Apalagi pada Pilpres 2024 usia AHY sudah cukup matang, yaitu dengan usia 46 tahun.

Sehingga brand AHY capres 2024 akan sangat kuat dengan kematangan yang cukup kuat dari AHY, sekaligus AHY dapat memperbaiki citra Demokrat dengan sosoknya yang dinilai masih bersih.

Meskipun memang tetap tak menutup peluang langkah AHY bersama Demokrat membentuk poros ketiga bersama PKB dan PAN. Maupun bergabung kepada poros Jokowi dengan menjadi cawapres, adalah langkah strategis AHY untuk masuk dalam politik nasional masih terbuka lebar karena elektabilitasnya cukup mumpuni sebagai alternatif.

Tetapi ada yang perlu digarisbawahi, karena jika AHY masuk kedalam poros Jokowi dan menawarkan diri menjadi cawapres Jokowi. AHY harus bersaing dengan partai-partai pendukung Jokowi lainnya, seperti PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura.

Apalagi banyak prediksi siapapun yang menjadi cawapres Jokowi terutama berasal dari usia muda, maka tak menutup peluang akan menjadi kandidat kuat capres pada Pilpres 2024. Hal tersebut tentu tidak diinginkan oleh PDIP dan Megawati yang ingin membentuk kriteria pemimpin setelah Jokowi. Ditambah lagi renggangnya hubungan SBY-Megawati sejak 2004 silam.

Lalu bagaimana dengan poros ketiga? Poros ketiga memang masih mungkin terbentuk jika Demokrat-PKB dan PAN benar-benar solid dan niat membentuk kubu ini. Tetapi ada PR besar bagi poros ini jika terbentuk, dimana posisi capres maupun cawapres akan menjadi tarik ulur antar partai dan ketua umumnya,

Anggaplah poros ketiga benar terbentuk dan AHY capresnya, karena Demokrat figur sentral dalam poros tersebut. Maka koalisi ini akan serupa dengan koalisi Agus-Silvy pada pilkada Jakarta 2017 lalu. Dan tentu saja PKB akan menawarkan Cak Imin sebagai cawapres, dan begitu juga PAN yang getol mempromosikan Zulkifli Hasan sebagai capres/cawapres alternatif.

Meskipun ada celah lahirnya capres alternatif selain Jokowi-Prabowo, tetapi ada PR  besar di mana brand politik figur yang harus dibangun harus mampu menyaingi tingginya popularitas Jokowi-Prabowo selama ini.

AHY memang berpeluang memasuki gelanggang pilpres 2019, karena bersama partai Demokrat dan sosoknya yang muda, fresh dan masih bersih, adalah modal yang cukup kuat. Akan tetapi alangkah jauh lebih baik AHY untuk memantapkan diri pada pilpres 2024 kelak, karena dengan membuat brand dirinya semakin kuat sebagai figur sentral Demokrat. Bukan tidak mungkin AHY kelak akan menjadi SBY selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun