"Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat. Penjajahan di depan mata itu di Jakarta. Selama ratusan tahun (betul tidak sekalian)
Di tempat lain penjajahan mungkin terasa jauh. Tapi di Jakarta, bagi orang Jakarta, yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari-hari.
Karena itu, bila kita merdeka maka janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta.
Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka. Kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Jangan sampai, Jakarta ini seperti yang dituliskan dalam pepatah Madura Itik se atellor, ajam se ngeremme. Itik yang bertelor Ayam yang mengerami.
Kita yang bekerja keras yang untuk merebut kemerdekaan, mengusir kolonialisme, kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini." (sumber:https://beritagar.id)
Itulah isi pidato perdana Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada 16 Oktober 2017 lalu yang berlangsung di Balaikota. Jika kita analisa secara bijak, konteks pidato Anies tersebut tentu merujuk pada peristiwa kolonial yaitu masa penjajahan Belanda. Dan makna dari Jakarta adalah satu dari sedikit kota yang merasakan penjajahan dari dekat. Saya rasa lebih kepada letak Kantor Gubernur Jenderal Belanda yang tentu sudah pasti berada di Kota Jakarta yang dahulu bernama Batavia. Â Sehingga tentu saja pengaruh kekuasaan Kolonial Belanda, tentu terasa dekat sekali dengan Warga Batavia yang kini bernama Jakarta di kala itu. Itu jika menurut saya pribadi.
Akan tetapi, ada satu kesalahan Anies dalam Pidato tersebut. Meskipun menurut saya secara pribadi tidak ada yang salah dengan pidato sang Gubernur tersebut. Akan tetapi Anies lupa, jika Polarisasi Antara Pendukung Anies-Sandi dan Ahok-Djarot masih terasa. Dan bahkan saya merasa Polarisasi itu masih sama seperti Pada saat masa Pilkada DKI Jakarta 2017 tengah berlangsung.
Saya adalah salah satu orang yang mengalami era dimana, persahabatan bisa hilang hanya karena perbedaan pandangan politik. Itulah polarisasi yang sangat kencang hingga saat ini. Anies kurang jeli melihat itu. Tetapi saya tahu, Anies tidak mungkin secara tidak sengaja melakukan itu, karena anies adalah orang cerdas dan sangat kritis.
Apakah Mungkin Anies memang sengaja ingin melihat seberapa besar respon pendukungnya jika dia melakukan itu? Saya rasa ada kemungkinan seperti itu, akan tetapi jika kita berpikir bijak. Konteks "Pribumi" yang dimaksud Anies adalah rakyat kecil yang selama ini terpinggirkan. Seperti kita ketahui, proyek Reklamasi telah menuai pro dan kontra di masyarakat itu sendiri. Karena proyek yang berpihak pada pengembang dan pemodal tersebut, tidak sepenuhnya membuat rakyat kecil dan menengah tersenyum. Terutama para nelayan.
Jika kita kaitkan pidato Anies akan menjadi kebangkitan dikotomi Pribumi-Non Pribumi, itu jelas salah. Mengapa salah? Karena perbebatan antara status pribumi dan non pribumi sudah lama selesai semenjak era Reformasi. Dan jikalaupun Anies menyasar Non Pribumi. Saya rasa Anies pasti menyindir kelompok pekerja asing yang selama ini diberikan kemudahan untuk masuk ke Indonesia. Ditengah tingginya pengangguran yang berstatus sarjana di negara ini. Sehingga bisa saja yang dimaksud  Anies adalah pekerja asing yang bukan berstatus WNI (Warga Negara Indonesia).