Mohon tunggu...
Denata
Denata Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

perempuan cerdas tidak hanya harus berpendidikan namun juga mampu menggunakan logika dan rasionalitas dalam menyingkapi sebuah isu. Broaden knowledge and be critical

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Quarter Life Crisis, Problematika di Usia Krusial

16 Mei 2021   20:18 Diperbarui: 16 Mei 2021   20:27 1860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar lifestyle.okezone.com

Pada fase quarter life crisis, berbagai keraguan tentang karir, hubungan, pendidikan, keuangan, hingga keinginan atau hasrat untuk memiliki sesuatu akan timbul. Periode krisis ini biasanya dimulai jika ada keadaan yang memicu. Penyebab munculnya quarter life crisis bisa saja dari ketidaksesuaian harapan dengan realitas, tekanan dari lingkungan ataupun keluarga, kecewa terhadap sesuatu, frustasi hingga dipengaruhi oleh faktor norma sosial.

Beberapa aspek yang kerap menjadi kekhawatiran bagi individu yang tengah menghadapi masa transisi terkait masa depan antara lain,

Pendidikan 

Saat lulus sekolah menengah atas, keraguan terhadap jurusan yang akan diambil di universitas kerap muncul pada diri kita. Pertanyaan-pertanyaan seperti akankah jurusan yang diambil memberikan peluang kerja, sudah sesuai minatkah jurusan yang diambil. Kedua pertanyaan ini dapat menciptakan ruang dilematis. Hal inilah yang sering menciptakan kegalauan dan keraguan saat akan duduk di bangku kuliah. Kebingungan juga kerap muncul kala seseorang lulus dari bangku kuliah. Pilihan antara langsung bekerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi muncul. Kebingungan untuk melanjutkan jenjang lebih tinggi di luar negeri atau memilih universitas dalam negeri juga menjadi masalah yang kerap mencuat.

Karir

Karir sering menjadi hal yang melatarbelakangi tingkat kecemasan seseorang. Kadang keinginan untuk menapaki karir yang diinginkan tidak sesuai kenyataan yang dijalani. Rasa tidak puas terhadap pekerjaan yang dijalani, terlebih jika tidak banyak memberikan keuntungan, dapat memicu stress. Jika kita telusuri, saat ini banyak yang menjadikan karir bukan hanya untuk mendapatkan uang, tetapi juga sebagai ajang aktualisasi diri. Terkadang kita terlalu membebani diri sendiri dengan mengharuskan bekerja di perusahaan yang diimpikan ataupun disukai banyak orang. Hal ini biasanya terkait gengsi dan status sosial di masyarakat. Padahal lapangan pekerjaan ada bermacam-macam, tetapi mendapat pekerjaan idaman banyak oranglah yang dikejar. Ada pergeseran definisi dan ekspektasi pekerjaan dulu dan sekarang. Seperti yang ditulis oleh Forbes, generasi terdahulu mengartikan bekerja untuk mendapatkan uang semata. Sekarang, orang bekerja bukan hanya untuk uang, tetapi lebih pada mendapatkan pengakuan dan status sosial. Itulah kenapa banyak yang mengandalkan segala cara agar diterima bekerja pada instansi atau perusahaan tertentu. Ketidakpuasan dalam dunia bekerja, rasa kecewa dan cemas karena tidak dapat memenuhi ekspektasi inilah yang kerap menggiring kita menuju quarter life crisis.

Pasangan Hidup  

Krisis lain yang mungkin kita hadapi adalah soal pasangan hidup. Siapa yang tidak pernah dihujani pertanyaan, "kapan menikah?" Terlebih jika usia sudah berkisar 25-an. Pertanyaan ini tidak akan sulit dijawab jika sudah memiliki calon dan sudah memiliki rencana pasti untuk menikah. Namun, jika status masih single atau belum memiliki pasangan, atau sudah memiliki calon tapi belum cukup mapan untuk ke jenjang pernikahan, pasti kebingungan menjawab pertanyaan tersebut. Terlebih jika kita memilih menjadi single, terkadang bertentangan dengan keluarga dan norma dalam masyarakat. Hal ini pun memicu terjadinya konflik sosial. Disinilah stigma masyarakat berperan memunculkan stress dan depresi. Sebenarnya untuk zaman sekarang, usia 25 tahun masih terlalu dini untuk menikah. Usia di bawah 30 tahun masih menjadi usia gemilang dimana kita dapat melakukan banyak hal baik termasuk pencapaian karir.

Passion

Mengejar passion itu memang idealis sekali. Namun, hidup di dunia nyata tidaklah seindah dunia dongeng. Dunia nyata adalah dunia yang keras dan kejam, sehingga diperlukan fleksibilitas dalam menjalani hidup. Mewujudkan passion untuk menghasilkan pundi-pundi uang adalah hal yang menyenangkan hati. Sayangnya tidak semua orang dapat hidup berdampingan dengan passion mereka. Ada kalanya passion haruslah dikesampingkan untuk lebih berpikir realistis. Tapi ada juga orang-orang yang merasa tidak nyaman menjalani pekerjaan yang bukan passion mereka. Jika kita dapat mengais rejeki sesuai dengan passion, maka banyaklah bersyukur karena tidak semua orang mendapat kesempatan itu.

Siapa Mengalami dan Kapan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun