Mohon tunggu...
Demitri
Demitri Mohon Tunggu... Freelancer - Biarkan kata bicara

- Ibu rumah tangga. Suka utak-atik kata -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lilin Kecil Itu

25 Desember 2021   12:48 Diperbarui: 25 Desember 2021   13:10 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac


"Ibu, kapan kita bisa pasang lampu kerlap-kerlip seperti di rumah keluarga Topo?" tanya bungsuku.

Ia memandang rumah di seberang rumahku dengan tatapan sedih. Bertahun-tahun ia bertanya demikian saat Natal menjelang. Kali pertama dia bertanya, aku menjawab apa adanya: listrik kita tak mampu untuk memasang banyak lampu. Pertanyaannya pada tahun-tahun berikutnya tak kujawab. Dia sudah tahu jawabannya.

Kupandang rumah keluarga Topo. Terang benderang. Lampu taman, lampu teras, lampu tiap ruang, lampu kerlap-kerlip pada pohon cemara besar menyala terang.

Di rumahku, hanya satu lampu redup yang sanggup menyala. Dari luar rumahku tampak seperti rumah hantu. Hanya samar cahaya yang tampak.

Apa yang dapat kulakukan? Aku hanya sanggup menanggung biaya sambung listrik dari rumah tetangga sebelah, yang kapasitasnya juga tak terlalu besar. Jika aku nekat menyalakan lebih dari satu lampu, maka dua rumah akan segera gulita. Lantas tetanggaku akan ngomel tak henti padaku.

Aku pernah mencoba meminta belas kasih Bu Topo, barangkali dengan kapasitas listrik di rumahnya yang besar itu, beliau mau membaginya untuk rumahku. Jika Bu Topo berkenan, tentu kami tak perlu kuatir dua rumah akan gelap karena pemakaian listrik yang sedikit berlebih. Mungkin anak-anak juga dapat menikmati kerlap-kerlip lampu Natal di rumah sendiri. Tetapi beliau menolakku. Bu Topo menyuruhku berusaha lebih keras bekerja atau mengencangkan ikat pinggang agar dapat memasang listrik di rumah. Ah..apalagi yang harus kami kencangkan untuk bertahan hidup?

Tetapi aku dan anak-anak harus tetap bersyukur, bukan? Satu lampu redup pun cukuplah. Rumah tidaklah gulita, penerang tetap ada. Aku mengumpulkan lilin sisa dari gereja. Bersama si sulung, kulelehkan dan bentuk kembali lilin bekas menggunakan cetakan gelas kecil. Kugunakan lilin itu untuk menambah penerangan saat anak-anak terpaksa belajar malam. Ya, anak-anak kubiasakan belajar sebelum gelap menjelang. Itu yang terbaik.

Kubuka pintu depan. Kuajak tiga anakku duduk di depan pintu.

"Lihat, bukankah indah menikmati kerlip lampu dari tempat kita?" ucapku.

"Ya, Ibu. Nyala lampu benderang saat kita berada di tempat gelap," jawab sulungku.

Ia masih kelas 6 SD. Tetapi pemikirannya cepat dewasa. Ia paham betul kondisiku sebagai buruh cuci-setrika. Ayahnya tiada saat bungsuku masih bayi. Ia yang membantuku mengurus adik-adik dan rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun