Beberapa waktu belakangan, kita sedang menghadapi ujian sebagai sebuah bangsa yang multikultural. Titik ini menjadi penentu, akan dibawa kemanakah arah anak-cucu kita ke depan.
Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan sendiri bagaimana sebagian orang bisa menjadi sangat beringas karena doktrin agama. Tak peduli agama apapun, fanatisme yang berlebihan ternyata menggerakkan orang untuk memiliki energi kebencian yang berlebih pada mereka yang dianggap berbeda.
Overdosis agama, yang parahnya sangat puritan dan konservatif, membuat masyarakat kita seakan dipaksa harus seragam. Harus sama agamanya, harus sama pilihan politiknya, hingga harus sama soal identitas dan cara berpikir.
Mereka yang tampak berbeda akan dipersekusi atau dimusuhi secara berama-ramai. Lantas dimana, klaim bahwa kita adalah bangsa yang menghargai perbedaan?
Yang pasti, Indonesia kini sedang dilanda darurat toleransi akut. Faktor utamanya adalah makin berkembangnya pemahaman keagamaan yang membenci keyakinan lain. Bukan hanya membenci mereka yang berbeda agama, yang seagamapun jika amalannya berbeda juga dianggap musuh.
Mereka mengalami doktrin tunggal bahwa hanya penafsiran agamanya saja yang mewakili kebenaran. Yang berbeda harus diberantas. Yang berbeda harus dimusnahkan.
Parahnya, doktrin puritan agama dan kakunya ideologi Wahabi itu bersatu dengan kepentingan politik para penjaja agama. Itu yang pada akhirnya membuat kekacauan dalam masyarakat.
Ada kepentingan politik yang memelihara kelompok-kelompok garis keras seperti ini. Mereka berharap merebut kekuasaan dengan memanfaatkan kegoblokan beragama yang makin tumbuh subur dalam masyarakat muslim.
Karena Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, maka isu yang berkenaan dengan agama sangat mudah dimainkan lalu dipetik manfaat politiknya. Apalagi menjelang Pilkada.
Mereka berusaha mengadudomba masyarakat dengan membenturkan antar kelompok, masyarakat dan pemerintah, dan meracuni anak-anak dengan ideologi kebencian.
Padahal kita sudah mengalami sendiri bagaimana rusaknya konflik berbasis keagamaan di Poso dan Ambon dulu. Harusnya kita belajar dan mencegah itu terjadi kembali.