Mohon tunggu...
Dee Ambut
Dee Ambut Mohon Tunggu... Guru - Aku hanya setangkai api yang menghangatkan jiwamu

Guru SMAN 1 Sano Nggoang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bingkai Perasaan

14 Agustus 2019   01:05 Diperbarui: 14 Agustus 2019   01:12 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku memang tipe orang yang selalu ceria. Mensyukuri setiap anugerah Tuhan lewat senyuman kepada sahabat-sahabatku, keluarga dan setiap orang yang aku jumpai. Meski sempat aku merasakan kehilangan yang tidak pernah terpikirkan. Ibu mendadak sakit berujung nyawa tak terselamatkan.

Pernah memoriku kembali ke masa itu. Memori yang hadir dari gubuk tua tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Empat belas tahun lamanya. Tempat keluargaku melepaskan lelah sekaligus tempat detik-detik terakhir nafas ibu terengah-engah lalu hilang.

Kaki perlahan beranjak dari gubuk itu, menyusuri jalan penuh harapan. Memang berat rasanya melangkah dari kebiasaan bertahun-tahun lamanya, tapi demi sebuah impian meski perasaan rindu enggan berpaling langkahku mengayun dua kali lebih cepat dari biasanya. Aku yakin, kelak perasaan itu berujung senyum.

Senja sore ini tidak begitu kunikmati dibandingkan senja-senja kemarin dan sebelumnya. Ya, senja kali ini penuh kabut dan aku dibanjiri kedinginan, sementara ingin melampaui batas angan tapi angin terus menusuk pori-pori tubuh hingga malam berjuta-juta bayangan kembali hadir menemani sepi. Empunya malam mengerti dengan keadaanku saat ini. Atau ini yang  dinamakan bingkai perasaan? Entahlah yang jelas aku menikmati senyum ibu.

Malam makin larut. Aku semakin menggigil, dan entah kenapa mataku enggan terpejam. Perlahan aku beranjak dari tempat tidurku. Mencoba membuka kembali helai demi helai kertas yang pernah aku tulis. Deretan kata-kata benci atas kepergian ibu masih berjejer rapih. Lagi-lagi aku diperhadapkan dengan hitam dan putihnya dunia. Air matapun tak mampu kubendung lagi. Perlahan  membanjiri pipi.  Aku tinggalkan coretan itu. Aku tak mau membacanya lagi. Terlalu perih. Sangat perih menyayat hati.

Sebenarnya aku bukan tipe pendendam. Hanya saja melihat teman-teman sekolah ditemani ibu mereka saat menerima raport. Bahkan berjalan-jalan menggandengkan tangan, disitulah perasaan iri itu ada.

Kudekati jendela, memandang keluar berharap pekatnya malam menghapus perasaan-perasaan itu tapi yang kudapati senyum ibu. Aku semakin menatap, ibu pun semakin mendekatiku sembari tersenyum. Senyum yang paling manis yang belum pernah aku temui. Aku ikut tersenyum serta menjulur tangan berharap mampu menyentuh ibu, dan yang kudapati bisikan mesra "tidurlah nak". Seketika ibu lenyap seiring mataku berkedip. Aku segera tidur, esok masih banyak hal yang akan aku lakukan. Ijinkan aku untuk memelukmu ibu, untuk selamanya kita bicara dalam ketiadaan.

Sosok ibu memang tidak mampu dilukiskan inci demi inci, meski sudah pergi berulang-ulang tahun lamanya, hangat pelukannya masih terasa, canda dan tawanya masih melekat erat dalam ingatan. Padahal semasa ibu hidup, aku terkadang marah ketika ia tidak memenuhi permintaanku. Memang permintaanku tidak seperti anak-anak kota yang ayah dan ibunya dulu pernah datang di kampungku duduk berlingkar keliling gubuk menjanjikan yang manis kepada kami orang kampung dan kini penikmat kursi empuk, mintanya berlebihan. 

Mulai dari handphone canggih, sepeda motor juga tetek bengek penutup tubuhnya yang biarkan belahan dadanya terbuka hingga pasangan baju yang mungkin 3 cm dari titik rawan bahkan bersekolah di sekolah yang super mahal. Aku tidak butuh mewah-mewah. Permintaanku hanya aku ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan selanjutnya yang biayanya super murah. Saking murahnya hingga banyak guru honorer bertahun-tahun tidak menerima gaji. Meski sudah murah itupun ibu keberatan.

Setelah sekian lama itu terjadi aku mencoba mereka-reka perasaan ibu yang enggan ia bicarakan alasan keberatannya. Bukan ibu tidak mau aku sekolah. dan ibu mana di dunia ini yang tidak mau anaknya sekolah? Tolong beritahu aku!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun